Alat pengukur tersebut terdiri dari lima alat yang terpasang secara permanen dan tiga alat yang bisa dipindah-pindahkan ke lokasi yang dibutuhkan.
"Yang lima alat itu di daerah Kota, Bundaran HI, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk. Sementara, tiga sisanya itu kan mobile (berpindah-pindah), pernah dipasang di Car Free Day dan di sekitaran Sudirman, pindah-pindah lah," kata Andono kepada wartawan, Jumat (5/7/2019).
Namun demikian, ketersediaan alat pengukur udara di DKI masih belum menjangkau seluruh wilayah ibu kota. Idealnya, kata Andono, total alat yang dibutuhkan sebanyak 25 buah. Jadi, masih kurang 17 alat lagi.
"Ada beberapa pendekatan untuk menghitung. Kalau tergantung grade atau wilayah Jakarta seluas 650 kilometer persegi, maka Jakarta perlu 25 alat. Atau, misalnya per 1 juta penduduk 1 alat. DKI kan ada 13 jutaan penduduk, jadi butuh 13 alat," jelas dia.
Satu penyediaan alat pengukur udara, lanjut dia, menggelontorkan biaya sekitar Rp5 miliar. Jika DKI sudah memiliki 8 alat dan masih membutuhkan 17 alat lagi, maka Pemprov membutuhkan biaya Rp85 miliar.
Lebih lanjut, Andono bilang warga DKI memiliki akses untuk membaca data dari alat pengukur kualitas udara yang sudah ada, yaitu pada situs Jakarta Smart City.
"Data itu ada di Jakarta Smart City. lihat saja di link lingkungan hidup. Tapi memang belum ada Mobile App. Itu akan dibuat. Kami sudah ada datanya tapi belum sampai ke sana," ungkap dia.
Untuk diketahui, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bilang pihaknya akan membuat langkah jangka pendek dengan menyiapkan alat-alat ukur kualitas udara secara lebih banyak, sehingga bisa menjangkau wilayah Jakarta seluruhnya.
Karena, kata Anies, aplikasi AirVisual yang tengah dijadikan acuan untuk menggambarkan kualitas udara belum sepenuhnya menjangkau wilayah Jakarta.
"Karena misalnya, hari ini kalau kita ditanya balik yang bilang kualitas udara buruk maka kita hanya bisa menentukan paling 10 titik. 15 titik maksimal di Jakarta. Dan yang keluar dari (aplikasi) AirVisual itu dari lokasi Kedutaan amerika. Jadi kan menggambarkan kualitas udara di sekitar Gambir saja. Tapi belum kualitas udara di seluruh Jakarta," jelasnya.
Jika kita kihat pada sebuah sebuah aplikasi pengukuran udara global secara real time, AirVisual hari ini, Jumat (5/7/2019) pukul 12.00 WIB menempatkan DKI Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara paling buruk kedua di dunia. Nilainya mencapai 163 AQI atau Indeks Kualitas Udara.