Jakarta, era.id - Keputusan Salmafina Sunan berpindah agama memancing media massa Tanah Air bereaksi. Sayang, reaksi yang muncul tak begitu baik. Sebuah kenyataan terpampang di depan mata, soal media massa Tanah Air yang masih gagap dalam menggarap isu kepindahan agama.
Selama pemberitaan konversi agama yang dialami Salmafina bergulir, sejumlah media massa kena kritik. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sampai menerbitkan larangan kepada media penyiaran untuk menyiarkan alasan kenapa seseorang atau publik figur pindah agama.
Dalam tulisannya di Mojok, Peneliti Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo menyinggung habis kualitas jurnalisme Indonesia dalam menggarap isu ini. Sasaran kritik Wisnu jelas, yakni sejumlah media massa yang menggunakan kata "terciduk" saat memberitakan Salmafina beribadah di gereja.
Selain itu, sebuah pemberitaan yang menggunakan diksi “bersembunyi” untuk menggambarkan penolakan yang dilakukan Salmafina terhadap permintaan wawancara.
Menurut Wisnu, diksi-diksi tersebut bersifat menyudutkan posisi Salmafina dan keputusannya berpindah keyakinan. Coba saja cek di mesin pencari Google. Diksi-diksi tersebut biasanya digunakan pada berita-berita yang sifatnya negatif.
Wisnu menjelaskan, ada dua hal yang membuat perpindahan agama seorang publik figur jadi hajat besar media massa. Pertama, karena agama adalah bagian penting dari tatanan sosial masyarakat Indonesia. Sebuah survei pernah dilakukan oleh lembaga riset Amerika Serikat, PEW Research yang menyebut 93 persen masyarakat Indonesia menganggap agama itu penting.
Biar bagaimanapun, tak ada yang salah. Toh, agama memang bagian penting dari kehidupan. Masalahnya, karena dianggap penting itulah kenapa setiap kabar yang menyangkut agama --dalam hal ini pindah agama-- selalu otomatis menjadi sebuah pemberitaan bernilai tinggi (news worthy).
Kondisi ini diperburuk dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang tengah sensitif dengan isu agama dalam dua sampai tiga tahun belakangan.
Alasan kedua adalah tren jurnalisme kuning. Tren jurnalisme kuning telah membawa banyak media massa ke arus sensasional, di mana pemberitaan-pemberitaan penuh sensasi dan kontroversi dijadikan andalan. Terkait Salmafina, pemberitaan-pemberitaan tentangnya jadi begitu seksi di dalam arus tren jurnalisme kuning.
Gejala praktik jurnalisme kuning, menurut Wisnu telah terjadi sejak lama. Media massa seakan tak bisa melawan arus ini lantaran memang terbukti mendatangkan pembaca lewat sifat click bait, yang artinya mendatangkan uang.
Aturan
Bukan cuma melanggar soal etika, pemberitaan mengenai pindah agama itu juga sudah ada aturannya. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sudah mengatur agar media tidak menyiarkan berita soal alasan kepindahan agama seseorang.
Komisioner KPI Nuning Rodiyah menjelaskan aturan tersebut untuk mencegah adanya diskriminasi agama tertentu. “Kekhawatirannya adalah ketika itu ditayangkan, maka langsung maupun tidak langsung akan menjatuhkan agama yang ditinggalkan,” kata Nuning kepada era.id.
Apabila alasan kepindahan seseorang untuk berpindah keyakinan diekspos, Nuning khawatir nantinya ada yang menjelekkan agama yang dianut sebelumnya. “Itu yang kemudian harus dijaga dalam rangka mengedepankan toleransi beragama di Indonesia,” katanya.
Menyambung pendapat Wisnu yang menjelaskan soal praktik jurnalisme kuning demi pemasukan, Nuning juga menegaskan, isu perpindahan agama ini jangan sampai dikapitalisasi menjadi program siaran. Nuning khawatir bisa menimbulkan perpecahan antar kelompok agama.
Kendati demikian, larangan tersebut tidak membuat semua tayangan soal agama dilarang. Nuning mengatakan untuk program siar agama tetap diperbolehkan asal tetap berada dalam koridor kebhinekaan. “Tidak boleh kemudian dilarang, tetap dengan koridor menghormati kelompok agama tertentu, suku, ras, dan budaya yang ada di Indonesia,” katanya.
Menurut penuturan Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli, dalam Dewan Pers sendiri tidak ada aturan spesifik yang melarang soal pemberitaan pindah agama. Asalkan pemberitaan itu wajib memenuhi azas cover both side, berimbang, tidak menghakimi dan menghargai hak pribadi dari orang yang ditulis.
Sementara itu, yang perlu digarisbawahi, berdasarkan penuturan Arif adalah wartawan dilarang menghakimi. “Praktik jurnalistik yang benar adalah menunjukan (show) bukan mengatakan (tell). Wartawan dilarang menghakimi” pungkasnya.