Mencari Tahu Prosedur Kepemilikan Senjata Anggota Polri

| 31 Jul 2019 17:32
Mencari Tahu Prosedur Kepemilikan Senjata Anggota Polri
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Kasus penembakan polisi Bripka Rachmat Effendi oleh rekan seprofesinya, Brigadir Rangga Tianto di Polsek Cimanggis masih berada dalam tahap penyelidikan. Saat ini, polisi masih menunggu Polisi hasil tes kejiwaan Rangga yang akan diketahui dalam waktu 14 hari setelah pemeriksaan. 

Rangga sendiri telah ditahan tak lama setelah dirinya diduga spontan saat melepaskan tujuh tembakan dari senpi jenis HS9 yang merupakan senjata standar anggota Polri hingga mengakibatkan nyawa Rahmat melayang pada Kamis (25/7) malam lalu.

Melihat situasi penembakan yang dilakukan oleh Rachmat jelas melanggar prosedur penggunaan senjata api bagi anggota kepolisian. Lalu, bagaimanakah prosedur penggunaan senjata api yang seharusnya? 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, pada prinsipnya penggunaan senjata api dilakukan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau masyarakat. 

Izin memegang dan mengguna senjata api bukan serta merta diberikan kepada seluruh anggota Polri. Ada sejumlah prosedur yang harus dilalui agar senjata mematikan tersebut bisa digunakan. Prosedur ini juga mesti dilalui sebagai syarat kepemilikan senjata api. 

"Setiap anggota polisi mengajukan dulu ke bagian SDM, SDM menjadwalkan untuk mengikuti tes psikologi. Kalau tes psikologi. Lulus, tidak serta merta langsung bisa megang senjata api, harus latihan dulu. Kalau sudah latihan, baru harus ada rekomendasi dari pimpinan," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019).

"Setelah pimpinan menyatakan dia layak, psikologi lulus, latihan senjata dia bagus, kemudian rekam jejak enggak ada masalah, baru turun surat izin pakai senjata," lanjut dia.

Setidaknya, anggota polisi yang sudah bisa mengajukan surat izin penggunaan senjata telah berpangkat Briptu. Setelah itu, ada tes psikologi yang dilakukan setiap 6 bulan sekali bagi anggota polisi pemegang senjata api. 

Penggunaan senjata api pun ada aturan khusus, baik dipakai saat bertugas maupun tidak. Saat bertugas, senjata api hanya boleh digunakan saat membela diri dan orang lain dari ancaman kematian atau luka berat. 

"Kemudian dipakai untuk mencegah atau menghentikan seseorang yang melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa, di mana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup," ungkap Dedi.

Dalam konteks kepemilikan, anggota yang telah lolos tes dan memiliki senjata, sebenarnya bisa membawa senjata tersebut saat di luar masa tugas, seperti membawa pulang ke rumah, tapi, bukan berarti bisa digunakan kapan saja. 

"Senjata itu bisa dibawa ke mana saja oleh polisi, ke rumah boleh, tentunya tetap harus ada mekanisme izin ke atasan," ungkapnya.

Selain itu, ada juga aturan sebelum maupun sesudah menggunakan senjata. Dedi menjelaskan, setelah melakukan penindakan dengan menggunakan senjata api, polisi wajib mempertanggungjawabkan tindakan, dan memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak. 

"Kemudian, memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api dan membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api," katanya. 

Sebagai informasi, ketentuan penggunaan senjata api termaktub dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Rekomendasi