Rangkaian peristiwa ini ternyata dianggap bukan hal yang sepele. Tiga peristiwa besar ini sukses menyedot perhatian dunia internasional, apalagi sejumlah informasi tidak benar beredar di luaran sana.
Pusat penerangan (Puspen) TNI tidak tinggal diam melihat keadaan ini. Melalui akun instagram resminya, TNI menegaskan berita yang beredar mengenai tewasnya enam warga sipil di Deiyai adalah hoaks. Berita yang dimaksud adalah dari Reuters dengan judul 'Six killed as Indonesia forces fire on protesters in Papua'.
Puspen TNI juga membagikan artikel bertajuk ‘Memutilasi Indonesia dari Papua’ yang ditulis Alumni Magister Prodi Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Varhan Abdul Aziz yang dipublikasikan Kompasiana. Artikel ini diunggah Puspen TNI pada 30 Agustus.
Dalam tulisannya, Aziz menganalisis, dengan selang waktu 30 menit usai kerusuhan di Deiyai, Reuters yang berkantor di London, bisa membuat berita yang menyatakan enam warga sipil tewas di tangan aparat. Padahal nyatanya satu personil TNI gugur dengan kondisi mengenaskan. Dia mempertanyakan, bagaimana bisa media yang jauh berada di London, lebih cepat memberitakan daripada media nasional di Indonesia?
Belakangan, berita Reuters itu diubah judulnya jadi 'shooting at protest in Indonesia’s Papua, police say three dead’. Namun, judul berita yang pertama sudah kadung tersebar dan dipercaya kebenarannya. Pihak Reuter tidak membuat pernyataan maaf atas kesalahan ini. Maski sudah diubah, namun berita ini tetap dianggap tendensius dengan sudut pandang menyalahkan aparat.
Aziz menilai, kantor berita asing membuat berita bernada mengadudomba dengan tujuan propaganda. Ada dugaan intensif yang didapatkan dari pihak yang berkepentingan atas kejadian ini, dengan tujuan disintegrasi Indonesia. Hal ini diperkuat dengan hasil ‘gorengan' kerusuhan di Deiyai yang mem-blow up isu referendum.
Situasi di gedung KPU Papua saat ada aksi massa beberapa waktu lalu (Paul Tambunan/era.id)
Pengamat intelijen dan terorisme CIIA Harits Abu Ulya melihat ada indikasi intervensi pihak asing dalam konflik yang ada di Papua. Tak hanya itu, dia juga mengatakan, indikasi propaganda dari luar negeri soal Papua yang terjadi sangat masif dan sistematis. Harits khawatir hal itu malah meningkatkan eskalasi konflik di sana.
“Saya rasa seperti itu, (pengiriman pasukan) bagian dari counter propaganda. Karana memang benar, ada pihak-pihak dari luar negeri yang aktif menebar propaganda, yang posisinya mengadvokasi isu Papua merdeka,” katanya, saat dihubung era.id, di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Pihak asing yang turut campur urusan Papua ini, kata Harits melakukan perlawanan dari pihak kontra NKRI yang direpresentasikan oleh separatis OPM. Kemudian, Harits mengatakan, mereka juga membangun opini dan lobi internasional jelang Sidang PBB.
“Bisa saja anasir asing melakukan inflitrasi untuk mengagitasi, provokasi rakyat Papua untuk menciptakan distabilitas politik keamanan. Sekali lagi, negara wajib hadir dengan beragam pendekatan sesuai amanah UU untuk mencari solusi terbaik,” tuturnya.
Menurut Harits, apa yang terjadi di Papua adalah bentuk gangguan keamanan yang beririsian dengan isu kedaulatan. Sebab, di sana isu yang dibangun bukan soal rasisme lagi, tapi mulai bergeser ke isu politik yaitu Papua merdeka. Karena itu, Harits menyarankan pemerintah melakukan pendekatan keamanan untuk menangani masalah ini.
“Harus dibarengi pendekatan soft lainnya untuk menyelesaikan gonjang-ganjing Papua. Selain itu, pendekatan keamanan itu juga harus terukur, ada kontrol, evaluasi komprehensif dan dengan target waktu tertentu. Agar hadirnya TNI tidak kontraproduktif terhadap upaya menciptakan rasa damai, aman bagi rakyat di Papua,” jelasnya.
Klaim Pemerintah Papua sudah kondusif
Menko Polhukam Wiranto menyatakan, kerusuhan yang terjadi di Papua maupun Papua Barat sudah tidak ada lagi. Rutinitas masyarakat sudah kembali lancar.
“Pagi tadi saya mendapat laporan dari Papua dan Papua Barat, di sana ada Pangdam, ada Kapolda, melaporkan susana Papua dan Papua Barat sudah kondusif,” tuturnya, dalam acara Yospan Papua, di CFD Jakrta, Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (1/9).
Meski sudah dinyatakan kondusif, namun nyatanya pemerintah belum berniat menarik pasukan personil TNI-Polri dari tugas di Papua.
“Tunggu dulu ini kan baru mulai damai, mulai aman. Sabar, dari tadi sabar, tenang kan begitu,” ucapnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bahkan direncanakan berkantor sementara di sana. Mereka akan berada di bumi cenderawasih hingga kondisi keamanan dan ketertiban sudah dapat dipastikan kondusif.
Diperkirakan keduanya akan berkantor di Papua selama sepekan. Tito menerangkan, sejauh ini TNI-Polri telah menggelar 6.000 personelnya di Papua dan Papua Barat. TNI-Polri juga telah menyiagakan pesawat dan helikopter untuk berjaga-jaga bila diperlukan.