Menggapai Benny Wenda di Seberang Benua

| 04 Sep 2019 18:25
Menggapai Benny Wenda di Seberang Benua
Menko Polhukam Wiranto (Wardhany/era.id)
Jakarta, era.id - Pemerintah sedang menelusuri keterlibatan Benny Wenda sebagai pimpinan kelompok gerakan separatis Kemerdekaan Papua Barat. Ia disebut-sebut menjadi provokator yang menyebabkan kericuhan di Papua dalam beberapa hari terakhir.

Namun upaya pengusutan itu terbentur satu masalah. Benny Wenda bukan lah warga negara Indonesia. Otomatis, pemerintah tak bisa begitu saja memeriksa maupun menangkap Benny Wenda. 

Benny Wenda kini adalah seorang warga negara Inggris dan mendapatkan suaka dari sana. Tapi, bakal lain ceritanya ketika Benny berada di Indonesia.

"Kalau masuk ke Indonesia, ya, saya tangkap, kita proses," kata Menko Polhukam Wiranto kepada awak media di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Dengan kegiatan Benny yang berada di seberang benua itu, tentu memerlukan langkah-langkah diplomasi. Serta mengikuti hukum-hukum internasional yang ada. 

"Tatkala mereka sudah bukan warga negara Indonesia dan sudah ada perlindungan suaka dari negara lain, maka prosesnya tidak segampang itu," jelas Wiranto.

Wiranto menegaskan pemerintah Indonesia tidak tinggal diam begitu saja dengan narasi provokatif yang kerap disuarakan Benny Wenda di dunia internasional. Dia telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk menyiapkan langkah-langkah antisipasi.

"Narasi dari Kemenlu sudah disiapkan dan kita sendiri sudah menghubungi teman-teman di negara Pasifik Selatan untuk memberikan barrier sehingga tidak terpengaruh," ungkap Wiranto seraya mengakhiri pertanyaan wartawan.

Benny Wenda (Foto: Twitter @BennyWenda)

Rekam jejak Benny Wenda

Benny Wenda sendiri merupakan orang lama dalam gelombang pergerakan masyarakat Papua. Dia lahir pada 17 Agustus 1974 di Lembang Baliem, Papua dan tumbuh dengan menghirup udara sejak kecil bumi cenderawasih.

Dalam laman bennywenda.org disebutkan, saat kuliah Benny pernah memprakarsai kelompok diskusi untuk siswa Papua di Jayapura. Kelompok ini dibuat dengan tujuan agar anak Papua tetap bangga meski menjadi korban diskriminasi. 

Tak hanya itu, setelah orde baru tumbang, Benny kemudian menjadi pemimpin Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak), Majelis Suku Koteka. Demmak inilah yang kemudian mewacanakan kemerdekaan Papua dari Indonesia serta menolak otonomi khusus dan kompromi politik lainnya dari pemerintah.

Pada tahun 2006, tepatnya 6 Juni, Benny ditangkap dan ditahan di Jayapura karena diduga menjadi dalang dari serangan ke Polsek Abepura dan pembakaran toko pada 7 Desember 2000. 

Insiden ini kemudian menewaskan dua orang yaitu polisi dan penjaga. Akibat perbuatannya itu, Benny kemudian divonis selama 25 tahun. Alih-alih menyelesaikan hukumannya, dia melarikan diri dari penjara dan keluar dari Indonesia hingga akhirnya diselundupkan oleh aktivis Papua Merdeka lainnya ke Papua Nugini. 

Setelah masuk ke wilayah Papua Nugini, Benny lantas menerima suaka politik dari kelompok LSM Eropa dan pindah ke Inggris di tahun 2003 kemudian menetap di sana. 

Meski tinggal di Inggris, Benny terus melakukan langkah-langkah agar Papua segera merdeka. Dia pun membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada 7 Desember 2014 di Vanuatu dan ditunjuk sebagai ketuanya.

Gerakan bentukannya itu lantas menjadi payung dari tiga gerakan pro kemerdekaan Papua lain, yakni Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua, NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (West Papua National Coalition for Liberation, WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (National Parliament of West Papua, NPWP).

Meski dianggap tokoh separatis, Benny nyatanya pernah mendapat penghargaan karena dianggap menjadi tokoh yang memperjuangkan keadilan. Dua penghargaan yang diraihnya, yaitu Nobel Peace Prize dan Freedom of Oxford.

 

Rekomendasi