Hal itu diungkapkan Abraham Samad dalam keterangan tertulisnya. Mantan pimpinan KPK itu menyebut pembentukan dewan pengawas yang personilnya juga dipilih oleh DPR tak ada urgensinya.
"Apa urgensi membentuk badan pengawas saat KPK sudah memiliki dewan penasihat? Jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, siapa yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan?" kata Samad, Jumat (6/9/2019).
Abraham mengungkapkan, saat ini KPK sudah punya sistem pengawasan internal lewat Direktorat Pengawasan Internal (PI). Direktorat ini, kata dia, sudah punya sistem prosedur untuk mendeteksi dan menindak dugaan pelanggaran di internal termasuk telah menerapkan prosedur zero tolerance terhadap seluruh pelanggar kode etik internal, tidak terkecuali pimpinan.
"Sistem kolektif kolegial lima Pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya," jelas Abraham.
Dengan kehadiran dewan pengawas maka, akan melumpuhkan sistem kolektif kolegial lima pimpinan KPK saat mengambil keputusan. Termasuk persetujuan untuk melakukan penyadapan dan OTT. "Tampaknya perumus naskah revisi Undang-undang KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK," lanjutnya.
Berkaca dari hal tersebut maka Dewan Pengawas yang ditentukan DPR itu seharusnya tak diperlukan. Apalagi, pembentukan dewan pengawas ini hanya akan memperpanjang jalur administrasi dan birokrasi di KPK.
"Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," tegas dia.
Kritik pedas juga disampaikan, Transparency International Indonesia (TII) yang menolak seluruh substansi RUU KPK, sebab akan mengancam independensi lembaga antikorupsi.
Peneliti TII, Alvin menegaskan ada dua sikap yang harus diambil pemerintah saat ini. Pertama, adalah meminta agar Presiden Joko Widodo tidak menolak pembahasan Revisi Undang-Undang dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres).
Apalagi, Alvin menegaskan Presiden Jokowi tidak boleh mengaku tak tahu terhadap inisiatif perubahan undang-undang tersebut. Selain itu, presiden harus mengambil peran sebagai penjaga independensi KPK.
"Presiden sudah sepatutnya mengambil peran sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan presiden ke DPR," tegas Alvin.
"Situasi ini semakin krusial mengingat sejak ditundanya pembahasan revisi UU KPK pada 2016 silam, pemerintah tidak melakukan kajian evaluasi yang komprehensif terhadap RUU KPK dan juga tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat," imbuh dia.
Kedua, Alvin meminta agar DPR menarik kembali Revisi Undang-Undang KPK yang telah mereka sepakati bersama. Apalagi, poin-poin yang direvisi oleh DPR berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki lembaga ini.
Apalagi undang-undang ini, dianggap Alvin tidak melalui proses kajian mendalam dan proses penetapan revisi tersebut juga tidak transparan dan aktuntabel. "Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia," tutupnya.