Jalan Panjang RUU KPK Hingga Disetujui di Era Jokowi

| 13 Sep 2019 08:04
Jalan Panjang RUU KPK Hingga Disetujui di Era Jokowi
Rapat pembahasan RUU KPK (Mery/era.id)

Jakarta, era.id - Revisi undang-undang (UU) 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mendapat restu presiden Joko Widodo (Jokowi). Di era pemerintahan Jokowi, DPR tercatat sudah empat kali mengusulkan revisi UU KPK.

Setelah menerima surat presiden (supres) terkait permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas revisi UU KPK pada 11 September, DPR kemudian menggelar rapat badan musyawarah (Bamus) pada 12 September.

Menariknya, pembahasan dilakukan di saat yang bersamaan dengan berlangsungnya fit and proper test calon pimpinan (Capim) KPK di Komisi III, badan legislasi (Baleg) melanjutkan untuk menggelar rapat kerja mengenai revisi UU KPK dengan Menkumham Yasonna Laoly dan Mendagri Tjahjo Kumolo, sebagai tindak lanjut supres tersebut.

Menkumham Yasonna Laoly sebagai perwakilan pemerintah, menyampaikan apa yang menjadi pendapat dan pandangan Presiden Jokowi terkait revisi UU 30/2002. Setidaknya ada tiga poin yang ditekankan. Namun, di dalamnya tidak ada hal yang terkait dengan pemberian kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada KPK.

“Izinkanlah kami mewakili Presiden menyampaikan pandangan dan pendapat Presiden atas RUU tentang Perubahan Kedua atas UU KPK yang merupakan usul inisiatif dari DPR,” katanya dalam rapat kerja dengan Baleg, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Kamis (12/9/2019) malam.

Poin pertama terkait pengangkatan Dewan Pengawas KPK. Pemerintah berpandangan bahwa pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas merupakan kewenangan Presiden. Karena itu, kata Yasonna, hal ini dilakukan untuk meminimalisir waktu dalam proses penentuan dalam pengangkatannya.

Meski begitu, sambung Yasonna, untuk menghindari kerancuan normatif dalam pengaturan serta terciptanya proses check and balance, transparansi, dan akuntabilitas,  pengangkatan Dewan Pengawas akan dilakukan melalui panitia seleksi. Untuk itu, pemerintah tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota Dewan Pengawas mengenai rekam jejaknya.

Selanjutnya, poin kedua terkait keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK. Jokowi berpandangan dan berpendapat, dalam menjaga kegiatan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berkesinambungan, perlu membuka ruang dan mengakomodasi penyelidik dan penyidik KPK berstatus sebagai pegawal Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pemerintah pun mengusulkan pemberian rentang waktu selama dua tahun untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik itu, dalam wadah ASN dengan tetap memperhatikan standar kompetensi masing-masing. Harus telah mengikuti dan lulus pendidikan bagi penyelidik dan penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan, pandangan dan pendapat ketiga terkait penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Jokowi berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Aturan itu menyebut, KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen. Lembaga state auxiliary agency disebut sebagai lembaga eksekutif independen. Disebut eksekutif karena melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Yasonna menegaskan, pemerintah tetap akan memberikan masukan terkait revisi UU KPK tersebut. “Prinsipnya kami menyambut baik dan siap membahas usul inisiatif DPR atas UU KPK dalam rapat-rapat berikutnya,” tuturnya.

Setelah mendengarkan paparan Menkumham, forum rapat pun membentuk panitia kerja (Panja) sebagai wadah pembahasan masing-masing revisi UU tersebut. Ketua Panja revisi UU KPK dipercayakan kepada Supratman Andi Agtas. Ia diketahui juga merupakan Ketua Baleg DPR. Sementara, Ketua Panja revisi UU MD3 dipercayakan kepada Totok Daryanto.

Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan selanjutnya bisa dilakukan setiap saat dan langsung berkomunikasi dengan pemerintah mengingat masa bakti DPR periode 2014-2019 yang akan segera berakhir.

“Dalam waktu tidak terlalu lama mungkin kita bisa segera selesaikan. Pengambilan keputusan kita sesuaikan dengan jadwal,” kata Supratman

Perjalanan Revisi UU KPK

Dirangkum dari berbagai sumber, revisi UU KPK pertama kali diwacanakan oleh Komisi III yang dipimpin politikus Demokrat, Benny K Harman, pada 26 Oktober 2010, tepatnya saat SBY masih menjadi Presiden RI.

Pertengahan Desember 2010, DPR dan pemerintah menetapkan revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 sebagai usul inisiatif DPR. DPR bersama pemerintah kembali memasukkan revisi UU KPK dalam daftar RUU prioritas Prolegnas 2012. Namun, muncul desakan penolakan dari sejumlah aktivis anti korupsi.

Atas desakan itu, Ketua DPR Marzukie Alie setuju agar pembahasan Revisi UU KPK dihentikan karena SBY sudah meminta untuk menundanya. Berdasarkan instruksi SBY, pada Oktober 2012, badan legislasi DPR kemudian memutuskan untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK.

Menghilang di tahun 2012, upaya revisi UU KPK ini muncul lagi setelah setahun Jokowi menjadi presiden, tepatnya pada 23 Juni 2015. Atas usul DPR revisi UU KPK masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2015. Namun, Jokowi dan pimpinan DPR saat itu bersepakat menunda revisi tersebut.

Kembali masuk prolegnas prioritas pada 2016 atas usul DPR. Lagi-lagi usulan revisi ini batal diparipurnakan. Sebab,  Jokowi dan para pimpinan DPR bersepakat lagi menunda pembahasannya dalam batas waktu yang tidak ditentukan.

Pada tahun 2017, Pansus Hak Angket Kinerja KPK pernah memasukkan revisi UU itu dalam rekomendasinya. Meski tidak masuk di dalam prolegnas prioritas 2019, UU 30/2002 ini tetap ada di dalam prolegnas jangka menegah 2015-2019.

Hingga pada 5 September, DPR menyetujui usulan revisi dua UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR, yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan RUU Perubahan atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Keputusan ini diambil dalam rapat paripuna yang hanya dihadiri 70 orang anggota dewan, itu pun dihitung berdasarkan pandangan mata dari 560 anggota DPR. Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR Utut Adianto.

Gayung bersambut, surat permintaan ketersediaan pemerinyah membahas revisi UU KPK yang dikirim DPR direspons Presiden Jokowi dengan mengirimkan supres. 

Wakil Ketua Baleg, Totok Daryanto menyebutkan poin perubahan UU 30/2002 tentang KPK, sebagai berikut:

1. Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif

2. Pembentukan Dewan Pengawas

3. Pelaksanaan penyadapan

4. Mekanisme penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap tindak pidana korupsi yang ditangani KPK

5. Koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum yang ada sesuai hukum acara pidana

6. Mekanisme penggeladahan dan penyitaan

7. Sistem kepegawaian KPK

Berdasarkan materi muatan tersebut, dilakukan perubahan atas Pasal 1, Pasal 3. Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 19 Pasal 21, Pasal 24 Pasal 46, dan Pasal 47. Selain dilakukan perubahan atas pasal-pasal yang ada, dilakukan juga penghapusan atas pasal-pasal yang ada, yaitu Pasal 14, Pasal 22, dan Pasal 23.

Selanjutnya juga ditambahkan pasal- pasal baru, yaitu Pasal 10A, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal Pasal 37A Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 43A, Pasal 45A, Pasal 47A, Pasal 69A, Pasal 70A, Pasal 70B, dan Pasal 70C.

Rekomendasi