Tepatnya sepekan sejak reformasi Indonesia, pada 21 Mei 1998 berlalu. Tampuk kepemimpinan Indonesia dari Presiden Soeharto berganti ke tangan BJ Habibie. Kala itu, pemilik dari 46 hak paten di bidang Aeronautika ini mulai bergerak cepat mengakomodir tuntutan reformasi di segala lini.
Diakui Habibie, menjadi presiden di masa-masa krisis bukanlah hal mudah. Saat memimpin Indonesia, yang saat itu dalam keadaan berantakan, Presiden Habibie membuat beberapa keputusan penting. Beberapa keputusan itu tertuang dalam Undang-Undang, seperti UU Otonomi Daerah, UU Partai Politik, hingga UU Anti Monopoli.
Saat itu, banyak partai-partai politik terbentuk, karena Habibie memberikan kebebasan dan keleluasaan dalam berpolitik. Tak hanya itu, melalui perombakan kabinet yang dibentuknya, sejumlah program pemulihan ekonomi Indonesia pascareformasi juga dibentuk untuk mengatasi krisis.
Jelas, Presiden Habibie diwarisi keadaan yang sangat kacau secara ekonomi mau pun politik. Sebut saja nilai mata uang rupiah mencapai Rp15 ribu per dolar. Belum lagi kritikan tajam, terkait lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada 30 Agustus 1999.
Di sektor kebebasan berserikat, Presiden Habibie melepaskan dan membebaskan sejumlah tahanan politik era Orde baru. Dirinya juga yang mendorong kebebasan pers dan menjanjikan penyelenggaraan pemilihan umum yang transparan, adil dan demokratis.
Pada masa awal reformasi inilah angin demokrasi bertiup makin kencang. Demonstrasi dan pengerahan massa jadi pemandangan yang lumrah terjadi pada masa itu. Dikarenakan, Presiden Habibie yang tetap berpegang pada Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia tentang Pemberian Izin Bagi Aksi Demo.
Pemerintahan BJ Habibie memang terbilang singkat, dalam sidang umum MPR 1999, laporan pertanggungjawabannya Habibie akan lepasnya Timor Timur dari Indonesia ditolak parlemen. Pada hari yang sama, ia menyatakan mundur dari pencalonannya sebagai presiden, menyusul penolakan laporan pertanggungjawabannya.
Tetapnya BJ Habibie menjabat sebagai presiden selama 1 tahun 5 bulan, sebelum akhirnya digantikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 20 Oktober 1999. Berdasarkan pemilu yang terlaksana secara transparan, adil dan demokratis. Saat itu juga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk dan ditugaskan menjadi penyelenggara pemilu yang bertugas mulai dari menetapkan parpol hingga mengawal penetapan pemenangan pemilu.
Setelah tak lagi menjabat sebagai presiden, Habibie memutuskan tinggal di Jerman. Ia juga mendirikan organisasi Habibie Center, dan menghabiskan masa-masa hidupnya bersama sang istri, Hasri Ainun Habibie, yang kemudian meninggal dunia pada 22 Mei 2010 karena kanker ovarium.
Kini Habibie telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Esa. Dirinya meninggal dalam usia 83 tahun, dan menyusul sang istri Ainun yang telah lebih dulu pergi sembilan tahun lalu.