Selangkah Lagi, KPK Punya UU Baru

| 17 Sep 2019 10:46
Selangkah Lagi, KPK Punya UU Baru
Gedung KPK. (Wardhany/era.id)
Jakarta, era.id - Badan Legislatif DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ini merupakan hasil rapat kerja antara Baleg DPR dengan perwakilan pemerintah, tadi malam. Hasil rapat dari Baleg ini akan dibawa ke Rapat Paripurna hari ini untuk ditetapkan. 

Tujuh fraksi setuju poin-poin revisi UU ini. Namun, dua fraksi yakni PKS dan Gerindra memberikan catatan terhadap Dewan Pengawas KPK yang perlu melibatkan DPR. Sementara, Fraksi Demokrat belum menyatakan pandangannya dan akan memaparkannya saat rapat paripurna. 

Sedangkan, perwakilan pemerintah yang hadir dalam rapat itu, di antaranya Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri PAN RB Syafruddin.

Pembahasan Revisi UU KPK ini bisa dibilang ngebut. Tujuannya, selesai sebelum tanggal 30 September atau masa pemberhentian anggota DPR RI periode 2014-2019, karena tanggal 1 Oktober akan dilantik anggota baru periode selanjutnya.

Gedung DPR (Mery/era.id)

RUU sudah lama dibahas di DPR. Namun, kembali menghangat diperbincangkan sejak tanggal 3 September 2019 setelah usulan Revisi UU KPK jadi inisiatif DPR dan disetujui karena usulan Baleg. 

Sepekan kemudian, Presiden Joko Widodo menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada tanggal 11 September 2019 meski punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.

Sehari setelah Surpres turun, Baleg DPR langsung menggelar rapat dengan Menkumham Yasonna H. Laoly, Kamis (12/9) malam. Di saat yang sama, Komisi III DPR sedang melakukan fit and proper test dan menetapkan Firli Bahuri jadi ketua KPK periode 2019-2023.

Selanjutnya, pembahasan RUU ini dilanjutkan di tingkat panitia kerja (panja). Rapat ini tidak melibatkan masukan masyarakat atau KPK. Sementara, KPK menilai ada 11 poin yang dianggap melemahkan KPK. Selain itu, KPK merasa tak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU ini.

Buntutnya, tiga pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang menyerahkan mandat kepada Presiden, Jumat (13/9). Menanggapi ini, Presiden Jokowi meminta pimpinan lembaga negara, KPK harusnya bijak dalam bernegara. Dia menegaskan, dalam aturan, tak ada pengembalian mandat pimpinan KPK ke presiden.

Tiga pimpinan KPK mengembalikan mandatnya ke Presiden Jokowi (Wardhany/era.id)

Pada awal pekan ini, KPK telah mengantarkan surat ke DPR, Senin (16/9) siang. Isinya meminta penundaan pengesahan revisi UU KPK. KPK juga meminta draf RUU dan DIM (daftar isian masalah) secara resmi agar dapat dipelajari lebih lanjut.

Proses pembuatan RUU KPK ini jadi protes sejumlah kalangan. Melansir Antara, Selasa (17/9/2019), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menyatakan pembentukan RUU Revisi UU KPK sudah bermasalah sejak awal, selain melanggar Undang-Undang 12 Tahun 2011 dan Tata Tertib DPR karena prosesnya tidak melalui tahapan perencanaan, penyiapan draft RUU dan Naskah Akademik revisi UU KPK pun dilakukan tertutup tanpa pelibatan publik secara luas.

Atas dasar itu, PSHK mendorong Presiden Joko Widodo untuk menarik kembali Surpres dalam proses pembentukan RUU Revisi UU KPK.

"Penarikan kembali dapat dilakukan dengan berdasar kepada asas contrarius actus yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang memberikan kewenangan pada pejabat negara untuk membatalkan keputusan yang sudah ditetapkannya. Artinya, Presiden berwenang untuk membatalkan atau menarik kembali Surpres yang sudah ditetapkan sebelumnya," kata Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi

Dengan penarikan Surpres diharapkan Presiden dapat mengambil langkah lebih tegas dan efektif untuk mewujudkan visinya menciptakan KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi, tanpa harus tersandera oleh proses pembentukan RUU Revisi UU KPK yang sedang digagas oleh DPR.

"Selain itu, dengan penarikan Surpres, Presiden menjalankan perannya sebagai lembaga yang mengoreksi kesalahan DPR dalam hal kekuasaan pembentukan Undang-undang Revisi UU KPK yang sejak awal sudah melanggar hukum," tegas Fajri.

Masih dilansir dari Antara, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa revisi UU KPK tersebut adalah niat lama DPR untuk melemahkan KPK.

Menurut ICW, dalam naskah perubahan yang selama ini beredar praktis tidak banyak perubahan, narasi penguatan KPK seakan hanya omong kosong. Mulai dari penyadapan atas izin ketua pengadilan, pembatasan usia KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas.

Dalam catatan ICW, 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keseluruhan anggota DPR tersebut pun berasal dari ragam partai politik, yaitu Partai Golkar (delapan orang), PDIP (tiga orang), PAN (tiga orang), Partai Demokrat (tiga orang), Partai Hanura (dua orang), Partai Kebangkitan Bangsa (satu orang), Partai Persatuan Pembangunan (satu orang), Partai Nasdem (satu orang), dan Partai Keadilan Sejahtera (satu orang).

ICW pun menuntut DPR segera hentikan pembahasan revisi UU KPK. Lebih bijaksana jika DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi, seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai.

"Seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal isu revisi UU KPK dan melawan berbagai pelemahan pemberantasan korupsi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Gedung KPK (Wardhany/era.id)

Lantas apa saja butir-butir persoalan yang dinilai memberangus kewenangan KPK dalam memberantas korupsi? Melansir Antara, berdasarkan draf hasil rapat panitia kerja Baleg DPR, 13 September 2019, berikut perbedaan UU No. 30/2002 sebelum direvisi dan setelah revisi.

I. Bagian pertimbangan UU 30/20/02

Sebelum revisi:

2. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;

Setelah revisi:

2. b. bahwa kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;

II. Pasal 1 Ayat (3)

Sebelum revisi:

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

Setelah revisi:

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

Artinya KPK menjadi bagian lembaga eksekutif kekuasaan.

III. Pasal 1 Ayat (5)

Setelah revisi:

Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.

Artinya, berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No. 5/2014 tentang ASN yang mengatur bahwa ASN terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Batas usia PNS adalah 35 tahun, sedangkan di atas usia tersebut diangkat menjadi P3K. Artinya, sebagian besar pegawai KPK yang berstatus pegawai tetap akan menjadi P3K, termasuk para penyidik independen, seperti Novel Baswedan.

IV. Pasal 10

Sebelum revisi:

Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Setelah revisi

Pasal 10 A

(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

(2) ayat (f) Keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan

V. Pasal 12 A

Setelah revisi:

Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

VI. Pasal 12

Sebelum revisi:

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

Setelah revisi:

Pasal 12B

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.

(4) Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 12C

(1) Penyelidik dan penyidik melaporkan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) yang sedang berlangsung kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan.

Pasal 12D

(1) Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

VI. Pasal 19

Sebelum revisi:

(2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Dalam draf revisi UU 30/2002

Ayat (2) tersebut dihapus

VI. Pasal 24

Sebelum revisi:

(1) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) Huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Setelah revisi:

(2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps Profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

penyempurnaan penyebutan

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

VI. Pasal 29

Sebelum revisi:

Pimpinan KPK (f) berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada pemilihan;

Setelah revisi:

f. Berumur paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada pemilihan;

VII. Pasal 37

Sebelum revisi:

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Setelah revisi:

BAB V Dewan Pengawas pasal 37A—37 H

Pasal 37A

(1) Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) Huruf a.

(2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.

(3) Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 (lima) orang.

(4) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 37B

(1) Dewan Pengawas bertugas:

a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;

c. menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;

d. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;

e. melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan

f. menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 37D

Syarat-syarat menjadi anggota Dewan Pengawas

g. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;

h. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu);

i. diutamakan berpengalaman sebagai penegak hukum paling singkat 15 (lima belas) tahun;

Pasal 37E

(1) Ketua dan Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.

(2) Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden Republik Indonesia membentuk panitia seleksi.

(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat dan unsur masyarakat.

Aturan-aturan selanjutnya seperti juga memilih komisioner KPK

Pasal 37F

(1) Ketua dan anggota Dewan Pengawas berhenti atau diberhentikan

Namun, Presiden Jokowi sebelumnya mengatakan Dewan Pengawas itu nantinya dipilih oleh Presiden. Di internal KPK perlu ada Dewan Pengawas tapi anggota Dewan Pengawas ini diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi bukan politisi, bukan birokrat atau aparat penegak hukum aktif, sehingga isi pasal ini pun masih menjadi perdebatan.

VIII. Pasal 40

Sebelum revisi:

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Setelah revisi:

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.

(4) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan

Namun, Presiden juga mengatakan butir ini masih diperdebatkan karena Presiden menginginkan agar penghentian kasus yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.

IX. Pasal 43

Sebelum revisi:

(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Setelah revisi:

(1) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi.

X. Pasal 45

Sebelum revisi:

1. Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Setelah revisi:

(1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

XI. Aturan peralihan status penyelidik atau penyidik KPK

Pasal 69B

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai Pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengikuti dan lulus Pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rekomendasi