"Ini adalah salah satu hari paling berdarah dalam 20 tahun terakhir di Papua. Setidaknya 24 nyawa hilang dalam waktu 24 jam," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dikutip dari laman amnesty.org.uk.
Amnesty Internasional juga menyerukan penyelidikan independen dan tak memihak di Papua usai bentrokan antara demonstran dan polisi, serta meminta penanggungjawaban pelaku kekerasan dengan adil.
Baca Juga: Hoaks Rasialisme di Wamena Renggut 26 Korban Jiwa
"Kami telah mencatat dalam laporan di masa lalu bagaimana penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya, dan akhirnya pembunuhan yang melanggar hukum oleh pasukan keamanan di Papua sering terjadi dengan dalih menegakkan hukum dan ketertiban. Dalam situasi seperti ini, terutama di Papua, transparansi adalah bagian penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan," demikian bunyi pernyataan di situs resmi.
Laporan terakhir pada Rabu (25/9), Gubernur Papua Lukas Enembe di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, mengatakan korban tewas akibat kericuhan yang mencuat dalam aksi demo anarkis sejak 23 September, bertambah menjadi 30 orang.
Kronologi rusuh di Wamena
Kerusuhan dipicu isu hoaks rasisme di sebuah sekolah menengah atas antara guru dan murid. Isu tersebut menyebut bahwa seorang guru di SMA PGRI yang sedang mengajar menyampaikan kepada muridnya kalau berbicara keras.
Namun, kata "keras" itu kemudian terdengar seolah-olah cercaan "kera" akibat pelafalan huruf S yang tidak jelas atau tak terdengar dengan jelas. Isu ini kemudian meluas dan disampaikan seperti pernyataan bernada rasialis dari seorang guru yang tak pantas mengatakan kepada muridnya.
Isu hoaks ini kemudian berbuntut situasi panas. Ratusan siswa sekolah menengah turun ke jalan-jalan menuju sebuah sekolah pada Senin (23/9) pukul 09.00 waktu setempat. Dalam perjalanan itu, jumlah massa kemudian bertambah hingga akhirnya kericuhan pecah di beberapa titik.
Aksi lempar batu, pembakaran bangunan, rumah warga hingga kantor institusi, serta tembakan dari kepolisian dalam upaya memukul mundur massa tak bisa dihindarkan.
Baca juga: Benang Merah Kerusuhan Papua untuk Sidang Umum PBB
"Massa langsung bertindak anarkis dengan melempar batu dan melakukan pembakaran. Bahkan masyarakat pendatang di Papua juga jadi sasaran," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam, Selasa (24/9).
Upaya pemerintah
Atas kekacauan yang terjadi, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika memberlakukan pembatasan jaringan untuk mencegah hoaks dan provokasi tersebar lebih luas melalui internet.
TNI dan Polri disiagakan untuk mengembalikan kondisi menjadi kondusif. Presiden Joko Widodo juga meminta penanganan konflik dilakukan dengan proposional dan profesional.
Menurut mantan Kapolda Metro Jaya Tito Karnavian, penyebar isu hoaks itu diketahui kelompok underbow dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sementara itu, Kapolres Jayawijaya AKBP Tonny Ananda Swadaya mengatakan ada beberapa orang yang diamankan untuk mendalami aksi kriminal kemarin.
"Sementara kita pendalaman jadi saya belum publikasi. Nanti setelah jelas arahnya, siapa aktornya baru kita publikasi. Yang diamankan sementara 7 orang," katanya, dikutip dari Antara.