ERA.id - Tepat 35 tahun lalu terjadi bencana transportasi kereta api terbesar dalam sejarah Indonesia. Dua kereta api saling adu banteng hingga memakan ratusan korban jiwa. Mari mengenang Tragedi Bintaro melalui artikel ini.
Pada tanggal 19 Oktober 1987, salah satu petugas PPKA di Stasiun Sudimara berlari sambil meniup terompetnya untuk mencegah Kereta Api tujuan Rangkasbitung-Jakarta lepas landas. Namun, usaha petugas tersebut sia-sia karena kereta cepat melaju.
Masinis bernama Slamet yang mengemudi KA 225 melihat kereta api datang dari arah berlawanan yang tak lain adalah KA 220 tujuan Tanah Abang-Rangkasbitung. Beberapa penumpang yang kaget tanpa pikir panjang langsung melompat dari gerbong kereta.
Insinyur KA 220 mencoba mengerem tetapi sudah terlambat. Adu banteng pun tak terhindarkan dan kedua rangkaian kereta saling bertabrakan. Tabrakan tersebut sangat kuat, suaranya menggelegar beberapa puluh meter.
Kecelakaan yang merenggut 159 nyawa dan 300 korban luka ini dikenal sebagai Tragedi Bintaro I. Bencana yang tercatat sebagai kecelakaan kereta api terparah di Indonesia pasca kemerdekaan terangkum dalam Tragedi Kereta Api Bintaro (2019) yang diterbitkan Tempo.
Mengenang Tragedi Bintaro: Penyebab Kecelakaan
Merunut linimasa kejadian, tragedi dimulai sekitar pukul setengah tujuh pagi. Awalnya KA 220 tujuan Tanah Abang-Rangkasbitung agak terlambat saat hendak menuju Stasiun Sudimara. Diketahui, kereta masih membutuhkan beberapa menit lagi untuk menurunkan penumpang di Stasiun Kebayoran.
Kemudian pada pukul 6.46, Stasiun PPKA Kebayoran melaporkan KA 220 berangkat dari Stasiun Kebayoran menuju Stasiun Sudimara. Kabar ini mengejutkan PPKA di Stasiun Sudimara, karena ketiga jalur kereta di stasiun tersebut telah terisi, salah satunya KA 225.
"Dalam situasi seperti ini di stasiun Sudimara tidak mungkin untuk melintasi KA 220 yang akan datang dari stasiun Kebayoran karena biasanya berlaku sesuai jadwal," tulis laporan majalah Panji Masyarakat edisi 11-20 November 1987.
Sementara itu, Historia mencatat jika sebelumnya PPKA Sudimara meminta penyeberangan KA dilakukan di Stasiun Kebayoran. PPKA Sudimara mengatakan, rencana tersebut sudah disepakati oleh PPKA Kebayoran sebelum KA 220 berangkat dari Kebayoran.
Namun yang tidak diketahui adalah PPKA di Stasiun Kebayoran mengalami perubahan, sedangkan di Stasiun Sudimara tetap. PPKA Kebayoran tidak mengetahui rencana tersebut dan menjadi pelaku.
Atas tragedi tersebut, Slamet Suradio, Jamhari, Umriyadi, dan kondektur KA 225 Adung Syafei dinyatakan bersalah. Pada April 1988, mereka berempat mulai diadili. Slamet divonis lima tahun penjara, Adung Syafei divonis 2,5 tahun penjara, Umriyadi dan Jamhari masing-masing divonis 10 bulan penjara.
Kecelakaan tersebut memberikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia saat itu. PJKA dan Menteri Perhubungan saat itu diketahui telah membawa perubahan teknologi, kualitas, dan regulasi bagi perkeretaapian Indonesia.
Terdapat beberapa pembaharuan setelah Tragedi Bintaro, diantaranya komputerisasi perjalanan kereta api, pembuatan rel ganda, dan larangan naik ke atap gerbong dan lokomotif untuk penumpang.
Perlu diketahui, banyaknya korban juga disebabkan oleh penumpang yang melebihi kapasitas KA. Banyak penumpang duduk di bagian atas dan depan kereta. Selain membahayakan diri sendiri, juga mengganggu pengendara yang berlari dan melihat rambu-rambu kereta api.
Selain mengenang tragedi bintaro, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu ingin tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…