Kabinet Indonesia Maju dalam Catatan Aktivitis HAM

| 23 Oct 2019 18:43
Kabinet Indonesia Maju dalam Catatan Aktivitis HAM
Kabinet Indonesa Maju (Dok. Setkab)
Jakarta, era.id - Keputusan Presiden Joko Widodo memilih orang-orang untuk mengisi kabinet di periode keduanya, menuai respons dari banyak pihak. Tak terkecuali dari kalangan aktivis Hak Asasi Manusia.

 

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz menilai, ada kemajuan serta kemunduran dari keputusan Jokowi tersebut. Melalui penjelasan tertulis kepada era.id, Hafiz menuturkan, setidaknya ada beberapa catatan penting terkait orang-orang di Kabinet Indonesia Maju pilihan Jokowi.

 

Tentang jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang kini diisi oleh Mahfud MD, dia menilai, itu adalah sebuah kemajuan. Sebelumnya, kementerian ini ditempati oleh mantan Panglima ABRI yang diduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu, Wiranto

 

Menurut Hafiz, ini adalah terobosan dari Presiden Jokowi. Dia tak ingin lagi mengisi jabatan Menko Polhukam dengan orang-orang yang berlatar belakang militer. Apalagi, diisi oleh mereka yang selama ini terindikasi diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

 

"Posisi sipil dalam jabatan Menko Polhukam ini penting karena dapat berimplikasi pada berubahnya pendekatan-pendekatan militeristik yang represif selama ini seperti pada kasus Papua menjadi pendekatan yang lebih sipil," kata Hafiz, Rabu (23/10/19).

 

Hafiz mengatakan, hal ini diharapkan menjadi sinyal baik dalam penanganan sistem politik, hukum, dan keamanan di Indonesia. Terutama, terkait komitmen untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 

Tapi Hafiz menyayangkan perihal pengangkatan mantan Pangkostrad Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan Jokowi. Menurutnya, ini adalah kemunduran.

 

Seperti halnya Wiranto, Prabowo adalah seorang politikus yang berlatar belakang militer. Dia juga terindikasi kuat sebagai pelanggar HAM berat masa lalu.

 

Dipilihnya terduga pelanggar HAM masa lalu sebagai menteri, menurut Hafiz, dikhawatirkan akan memunculkan pelanggaran-pelanggaran HAM baru.

 

"Terlebih lagi, Indonesia sampai saat ini belum juga meratifikasi International Criminal Court (ICC) yang mengatur soal pendekatan atau penggunaan militer dalam konteks pelanggaran HAM," kata dia.

Baca Juga : Mahfud MD Jadi Menko Polhukam Pertama dari Kalangan Sipil

 

Selain itu, dipilihnya terduga pelanggar HAM sebagai menteri berpotensi membuat semakin mandeknya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, sejak periode pertama pemerintahan Jokowi, belum ada penyelesaiannya karena kuatnya resistensi dari internal pemerintah sendiri.

 

"Kekhawatiran ini juga didasari pada pidato pelantikan Presiden pada 20 Oktober 2019 lalu yang sama-sekali tak menyinggung soal HAM di dalamnya," kata Hafiz.

 

Dalam Kabinet Indonesia Maju, Jokowi juga memasukkan orang berlatar belakang militer sebagai Menteri Agama, Fachrul Razi. Fachrul Razi merupakan Perwira Tinggi TNI AD dengan jabatan terakhir Wakil Panglima TNI.

 

Menurut Hafiz, di satu sisi, Fachrul Razi berpotensi menyelesaikan permasalahan keberagamaan yang selama ini muncul dan melindungi kelompok minoritas secara tegas. Namun di sisi lain, di bawah kepemimpinan Fachrul, dikhawatirkan akan banyak pendekatan militeristik dalam penanganan isu-isu beragama di Indonesia.

 

"Selama perspektif diskriminatif dan sektarian masih digunakan oleh pemerintah, maka posisi ini potensial mengancam kebebasan beragama atau berkeyakinan," kata dia.

 

Hafiz menilai, isu toleransi, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas harus menjadi prioritas utama Kementerian Agama.

Baca Juga : Aktivis Bintang Kejora Lawan Balik Penangkapan Polisi

 

Pemilihan kembali Luhut Binsar Panjaitan sebagai menteri juga menjadi perhatian Hafiz. Luhut menduduki posisi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Nomenkatur kementerian itu adalah perubahan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

 

Menurut Hafiz, Dengan nomenklatur baru, berarti kementerian ini diubah untuk memiliki kewenangan di bidang penanganan investasi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan yang baru memberi perhatian dalam porsi besar terhadap investasi.

 

"Dikhawatirkan, alih-alih mewujudkan realisasi investasi yang mengacu pada nilai-nilai yang menjunjung HAM, hal ini justru akan potensial memilih pendekatan yang cenderung militeristik dalam memastikan realisasinya," kata dia.

Infografik (Ilham/era.id)

Yang terakhir adalah tentang bekas Kapolri Tito Karnavian. Hafiz memandang, diangkatnya Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri perlu digarisbawahi.

 

Menurutnya, di satu sisi, Tito selama ini memang memiliki peran penting untuk Indonesia, khususnya dalam penanganan isu terorisme dan radikalisme. Ini seharusnya dapat dijadikan modal untuk lebih melindungi kelompok rentan dan marjinal dari minoritas agama atau keyakinan yang selama ini menjadi korban dari gerakan-gerakan radikal tersebut.

 

Tapi di sisi lain, pengangkatan Tito Karnavian sebagai Mendagri menjadikannya berpotensi menggunakan pendekatan keamanan, terutama dalam hal pengawasan kelompok-kelompok yang dianggap mengganggu stabilitas keamanan Negara dan sebagainya. Apalagi, Tito masih sebenarnya masih punya pekerjaan rumah sebagai Kapolri.

 

"Di masa jabatannya sebagai Kapolri,  Tito masih memiliki pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Selain belum selesainya pengungkapan kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, Kepolisian Republik Indonesia di era Tito juga terindikasi terlibat dalam pelanggaran HAM terkait penanganan demonstrasi 21-22 Mei 2019 juga demonstrasi 24-30 September 2019 di mana polisi diduga menggunakan kekerasan berlebihan atau excessive use of force," kata dia.

Rekomendasi