Bandung, era.id – Publik dunia sempat digemparkan dengan letusan gunung api White Island di Selandia Baru. Selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, letusan ini juga terjadi tiba-tiba. Letusan mendadak ini menjadi sorotan para ahli gunung api (volkanolog), termasuk di Tanah Air di mana banyak sekali gunung api yang masih aktif.
Volkanog Dr.Eng. Mirzam Abdurrachman, dari prodi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), pun angkat bicara. Ia membeberkan faktor-faktor yang bikin gunung api meletus tiba-tiba, seolah tanpa tahapan umumnya seperti gempa vulkanik, gempa tremor, dan gejala lainnya.
Kata Mirzam, gunung api dapat meletus dipengaruhi oleh faktor utama yaitu kesetimbangan magma yang berada di dalam dapur magma. Di dalam dapur magma terdapat tiga proses yaitu proses yang berada di bawah dapur magma (chamber), proses di dalam, dan proses yang berada di atas dapur magma. “Maka ketika kesetimbangan tesebut terganggu gunung api akan meletus,” terang Mirzam, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (18/12/2019).
Ia mengibaratkan proses yang terjadi di bawah dapur magma sebagai sebuah botol air bervolume 600 ml, kemudian diinjeksikan dengan air baru 300 ml. Kelebihan volume tersebut tidak dapat ditampung. Begitupun gunung api, akan erupsi dengan mengeluarkan kelebihan magma yang terkandung di dalamnya. Hal ini bersifat siklus, terdapat pola, dan dapat diprediksi.
Namun, ada juga proses di dalam dapur magma yang tidak dapat diprediksi. Ini terjadi ketika dinding dapur magma roboh yang bisa diakibatkan oleh ketidakstabilan dinding atau bisa disebabkan oleh gempa yang terjadi. “Hal itu mengakibatkan penambahan volume secara signifikan pada dapur magma. Ini merupakan salah satu faktor gunung api dapat meletus tanpa sebab yang jelas sebelumnya," terangnya.
Proses lainnya terjadi di atas dapur magma. Proses ini sangat kompleks. Pertama, kerucut gunung api mengalami daya dukung yang kurang, ketika berinteraksi dengan air mengakibatkan berubahnya daya tahan sehingga akan terjadi erupsi saat kerucut tidak sanggup lagi menahan tekanan dari dalam.
Akan tetapi ada pula faktor eksternal yang mendorong gunung api meletus, antara lain badai yang dapat menekan kerucut dari atas hingga bisa terjadi erupsi. "Sama halnya seperti bisul yang kita tekan,” terang lulusan Akita University Japan tersebut.
Faktor eksternal lainnya ialah gerhana bulan atau gerhana matahari. Di tengah fenomena astronomi ini, di mana bumi berada dalam satu garis dengan matahari dan bulan, mengakibatkan timbulnya gaya Tarik (gravitasi) yang maksimum sehingga memicu terjadinya erupsi gunung api.
Mirzam kemudian membeberkan sejumlah tanda alamiah menjelang gunung api meletus. Pertama ialah meningkatnya aktivitas kegempaan, banyak satwa yang turun dari gunung, mata air yang mulai kering dikarenakan adanya material panas yang naik mendekati permukaan mengakibatkan air berubah menjadi uap, dan adanya pelepasan gas yang mengidentifikasikan matinya berbagai tumbuhan.
Tanda-tanda tersebut ia sebut sebagai “kearifan lokal”. Bila dikaitkan dengan letusan gunung Tangkuban Parahu beberapa bulan ke belakang, sifatnya mirip seperti letusan White Island di Selandia Baru, Ontake di Jepang dan Telica di Nikagarua, yaitu erupsi freatik yaitu erupsi yang disebabkan adanya kontak air dengan magma.
Mirzam menjelaskan, air yang terpanaskan akan berubah menjadi gas dengan volume yang membesar hingga 1500-1700 kali dari volume awalnya, bergerak ke level yang lebih dangkal. Jika di atasnya ada batuan yang menyekat, maka gas dengan tekanan tinggi ini akan tertahan beberapa saat, menurunkan seismisitas sehingga mengecoh instrument atau pun operator yang memantau.
Keadaan ini menyebabkan letusan freatik seolah tanpa aba-aba atau pun hanya sedikit memberi sinyal sebelum letusan besar terjadi. Belajar dari pengalaman Letusan Telica di Nikaragua tahun 2011 bahwa fase tanpa aba-aba ini bisa berlangsung 5-30 menit sebelum akhirnya letusan terjadi. Pada kasus yang lain di Ontake, Jepang tahun 2014, tanda lainnya muncul yaitu tidak adanya seismisitas sebelum letusan namun terjadi penggembungan tubuh gunung api sekitar 7 menit sebelum erupsi terjadi.
Mirzam berpesan, bagi masyarakat yang tinggal di sekitar gunung api untuk hidup damai, harmoni, dan mempelajari kearifan lokal (tanda-tanda alam). Selain itu tidak kalah penting adalah mematuhi arahan pemerintah. Jika hal-hal tersebut dilakukan maka akan muncul kesadaran safe mitigation dari masyarakat itu sendiri.
"Kita tidak punya pilihan, Indonesia memang tercipta dengan banyaknya gunung api aktif," ungkapnya.
Perlu diketahui, Gunung Tangkuban Parahu yang disebut Mirzam memiliki kemiripan sifat dengan gunung White Island atau Whakaari di Selandia Baru, saat ini statusnya Level I (Normal) sejak 21 Oktober 2019 lalu.
Sebelumnya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan status gunung Tangkuban Parahu di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Subang itu dalam status Level II (Waspada) menyusul letusan freatik yang terjadi pada 26 Juli 2019, kemudian erupsi menerus 2 Agustus 2019.