Menyoal Praktik Kawin Tangkap

| 02 Jul 2020 15:25
Menyoal Praktik Kawin Tangkap
Screenshoot Twitter

Praktik kawin tangkap belakangan ini menjadi sorotan setelah sebuah video yang viral memperlihatkan penduduk setempat mengambil seorang wanita di tempat umum. Dalam video itu, sekelompok pria terlihat membawa seorang wanita kemobil pikap hitam. Wanita lain datang dan mencoba membuka pintu mobil untuk mengeluarkannya dari kendaraan.

Puluhan orang terlihat berkerumun di mobil, bersorak dan mengambil video, sementara wanita itu hanya bisa menangis.

Jakarta, era.id - Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) berjanji untuk menghapuskan praktik kawin tangkap, suatu bentuk penculikan calon pengantin yang biasa dilakukan di Pulau Sumba. Sebuah video viral dari peristiwa kawin tangkap membuat marah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati .

Pemerintah mengklaim bahwa praktik tersebut melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

"Pemerintah NTT mendukung penghapusan hukum adat yang melanggar hak asasi manusia. Kami mendesak para pemimpin agama, pemimpin suku dan pemerintah daerah untuk menghentikan praktik adat yang membelenggu kemanusiaan," ujar kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT , Erny Usboko, seperti dikutip dari Asianone, Kamis (2/7/2020).

Erny mengatakan segala peraturan atau budaya yang melanggar martabat manusia harus diubah.

"Tentu saja, tidak semudah membalikkan tangan dan tidak dapat dihentikan segera. Ini akan membutuhkan proses bertahap dengan mendidik masyarakat adat setempat," katanya.

Dia mengatakan pemerintah daerah Sumba, pemimpin agama dan pemimpin suku dapat mengadakan diskusi tentang kesetaraan, martabat, keadilan, universalitas dan kemanusiaan.

"Gubernur NTT Viktor Laiskodat telah mengadakan pertemuan dengan bupati dari Pulau Sumba meminta mereka untuk menghentikan hukum adat yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Kami tidak ingin hukum adat melanggar hak asasi manusia," kata Erny.

Ketua Dewan Legislatif Nusa Tenggara Timur (DPRD), Emilia Nomleni, mengatakan praktik ini harus dihentikan dengan cara apa pun.

 

Selain video tersebut, ada juga video yang kurang lebih sama, menculik wanita di depan rumahnya. Praktik tersebut dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.

"Tradisi ini sebenarnya sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Namun jika dilihat yang terjadi saat ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada lalu-lalu," kata Rambu Prailiang, seorang perempuan Sumba Tengah, seperti dikutip dari Antara.

Rambu mengaku sangat menentang praktik kawin tangkap, yang menurut dia pelaksanaannya pada masa sekarang sudah melenceng jauh dari praktik pada masa lalu.

Menurut dia, pada masa lalu perempuan yang menjalankan tradisi kawin tangkap atau Palaingidi Mawini dihargai. 

Pada zaman dulu, ia menuturkan, orang yang menjalankan praktik kawin tangkap harus berasal dari keluarga kaya karena belis atau mahar yang harus dibayarkan ke pihak perempuan besar.

Perempuan yang akan "ditangkap", menurut dia, juga sudah dipersiapkan, sudah didandani dengan pakaian adat lengkap, gelang gading, dan aneka perhiasan. Pria yang akan menikahi perempuan itu pun mengenakan pakaian adat lengkap dan menunggang kuda berhias kain adat.

Setelah perempuan "ditangkap", pihak laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga perempuan untuk menyampaikan informasi mengenai kejadian kawin tangkap tersebut. 

Namun, menurut Rambu, sekarang praktik kawin tangkap lebih mengarah pada penculikan dan membuat kaum perempuan Sumba, khususnya di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, hidup dalam ketakutan.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga menyatakan praktik kawin tangkap adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengatasnamakan budaya atau tradisi. Praktik serupa juga pernah terjadi di Bali, tetapi tidak lagi ada karena tidak sesuai norma dan perkembangan zaman.

"Budaya atau tradisi itu tidak statis, tetapi dinamis. Kasus di Sumba ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak. Jangan jadikan alasan tradisi budaya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," katanya.

 

Rekomendasi