"Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi
dalam Pilpres 2019. Menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh MK karena
hal itu menjadi kewenangannya," kata Yusril dalam keterangannya pada wartawan, Rabu
(8/7/2020).
Ia menjelaskan putusan MK menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo dan Sandiaga.
KPU merujuk pada putusan MK tersebut. Adapun putusan MA yang menghebohkan itu baru
dikeluarkan pada 28 Oktober 2019, semingggu setelah Jokowi-Ma'ruf dilantik.
"Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan
MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang," kata Yusril.
Ia menjelaskan MK pernah memutuskan soal penetapan paslon terpilih pada putusan Nomor
50/PUU-XII/2017. Putusan MK tersebut menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan.
Pasal 7 ayat (3) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 yang merujuk pada putusan MK. Sebab dalam UU Pemilu tak diatur soal pilpres yang diikuti hanya dua pasangan calon.
"Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri. Patut disadari bahwa Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan," kata Yusril.
Menurutnya, MA memutus perkara pengujian PKPU dengan merujuk pada Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut. Sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu. Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan Putusan MK atau tidak.
"Putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, mala Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2007 tentang Pemilu," kata Yusril.
Ia menilai kalau pasangan calon hanya dua, dan harus diulang terus agar memenuhi syarat
kemenangan menurut sebaran wilayah, maka Pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir.
Sementara masa jabatan Presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh
lembaga manapun termasuk MPR.
"Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini. Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tatanegara adalah Pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya," ujar Yusril.