Sanksi Menanti RS dan Faskes Jika Rapid Test Kemahalan

| 10 Jul 2020 10:00
Sanksi Menanti RS dan Faskes Jika Rapid Test Kemahalan
Menristek Bambang Brojonegoro (Setkab.go.ig)
Jakarta, era.id - Sanksi menanti bagi rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang memberikan harga pelayanan rapid test di atas Rp150.000.

Sebab, tarif tersebut sudah diatur dalam surat edaran bernomor HK.02.02/I/2875/2020.

"Sanksinya bermacam-macam. Ada sanksi teguran peringatan keras, kemudian mungkin bisa diambil tindakan yang lebih tegas itu nanti akan diatur," ujar Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, Jakarta, Kamis (9/7/2020).

Sanksi bukan dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan, namun masuk dalam kewenangan aparat keamanan.

Saat ini, kata Muhadjir, pemerintah terus berupaya menekan biaya maksimum rapid test hingga di bawah angka Rp150.000. Karena itu, Kemenko PMK bersama Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Nasional dan Inovasi (Menristek BRIN) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meluncurkan rapid test buatan dalam negeri.

"Biaya tes cepat yang buatan dalam negeri ini Rp75.000," ungkap Muhadjir.

Sementara Menristek BRIN Bambang Brodjonegoro memperkenalkan RI-GHA dan menyebut produk ini akan mampu bersaing dengan produk rapid test impor.

Alat tersebut ditargetkan akan diproduksi pada Juli sebanyak 200 ribu buah dan bertambah dua kali lipat pada bulan selanjutnya.

"Saya yakin produk dalam negeri nanti (rapid test) lebih murah, mampu bersaing, dan siap-siap kalau ada produk luar yang banting harga, kita juga siap banting harga," tegasnya.

Untuk mencapai target produksi tersebut, Bambang mengatakan pihaknya akan menambah mitra produksi RI-GHA. Karena saat ini, mitra produksi alat pengujian tersebut hanya dua, yaitu PT. Hepatika Matrama dan Laboratorium Prodia.

Adapun alat pengujian ini memiliki kelebihan lebih praktis dan lebih cepat. Sebab, satu kali pengujian hanya butuh waktu selama 15 menit.

Sebelumnya, alat tes cepat antibodi, atau rapid test, mendapat sorotan serius dari publik dan pakar kesehatan terkait tingkat akurasinya dan penggunaannya yang cukup luas dalam aktivitas publik. Maskapai penerbangan Lion Air, contohnya, menawarkan rapid test ke penumpang pesawat.

Hasil tes itu nantinya akan menjadi surat keterangan yang valid selama 14 hari, padahal Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada rilis tanggal 24 April 2020 mengimbau bahwa alat rapid test masih perlu proses validasi lebih lanjut menyangkut tingkat akurasinya.

“Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat,” kata epidemiolog dan dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono, dalam sebuah diskusi daring (4/7/2020).

Riono menjelaskan bahwa alat testing cepat mendeteksi munculnya antibodi terhadap virus, menandai adanya dinamika tubuh terhadap infeksi. 

Namun, antibodi baru terbentuk setelah seminggu atau beberapa hari pasca-infeksi. Bila terdapat reaksi antibodi pun, bukan berarti seseorang bisa menularkan virusnya.

“Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berarti bisa infeksius.”

Rekomendasi