Adu Narasi COVID-19 Antara Negara VS Jerinx SID

| 29 Jul 2020 17:45
Adu Narasi COVID-19 Antara Negara VS Jerinx SID
Musisi dan drummer Superman Is Dead, I Gede Ari Astina (JRX) (Instagram/@jrxsid)

ERA.id - Pekan lalu, Masyarakat Nusantara Sehat (Manusa) berunjuk rasa menolak rapid test dan swab test di Bali. Sayangnya, mereka berteriak-teriak sambil mengabaikan protokol kesehatan di tengah keramaian. Tentu saja hal ini mengundang pro-kontra. Namun, tindakan pemerintah justru lebih terasa ironis.

Sehari pascaunjuk rasa, Senin (27/7/2020), Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo merasa massa demonstran, termasuk I Gede Ari Astina alias Jerinx (JRX), drummer band SID, perlu dipanggil untuk diberi penjelasan mengenai rapid test dan swab test. Baginya, kedua alat uji tersebut penting untuk mendeteksi penularan COVID-19. Ia yakin perlu kesadaran kolektif mengenai bahaya persebaran kolektif dari COVID-19.

Unjuk rasa Manusa sendiri diikuti ratusan massa di Lapangan Renon, Denpasar, Bali, Minggu (26/7/2020). Umumnya, mereka tidak memakai masker atau mempraktekkan penjagaan jarak satu sama lain.

Kritik yang diusung dalam unjuk rasa itu adalah kebijakan pemberlakuan rapid test sebagai syarat administrasi dalam melakukan perjalanan keluar masuk via pintu pelabuhan atau bandara.

Mereka juga menolak beberapa surat kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali.

Misalnya, Surat Dinas Pariwisata Bali No. 556/2782/iv/dispar tentang Sertifikat Tatanan kehidupan Era Baru. Di surat edaran ini, karyawan wajib menjalani rapid test dengan biaya sendiri. Hal ini adalah prasyarat bagi perusahaan untuk mendapat sertifikat penerapan protokol kesehatan yang menjadi syarat ijin operasi.

Kementerian Kesehatan RI sendiri mulai 6 Juli 2020 telah menetapkan batas tarif pemeriksaan rapid test sebesar Rp150 ribu.

Protes massa Manusa mengenai dihentikannya kewajiban uji rapid test sendiri senada dengan perkembangan diskusi publik mengenai alat deteksi antibodi terhadap COVID-19 tersebut. Publik keberatan dengan harga rapid test yang cukup mahal di kala ekonomi masyarakat dirundung pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Belum pula mengenai rumor dokter rumah sakit yang membisniskan alat tes antibodi tersebut.

ERA.id pernah merilis laporan bagaimana seorang dokter di sebuah rumah sakit (RS) swasta di Indramayu mengaku berbisnis rapid test untuk menutup biaya operasional RS.

"Di era pandemi COVID-19 ini, angka kunjungan pasien ke RS berkurang drastis, ditambah biaya operasional yang meningkat (untuk tambahan penyediaan APD, dll)," tulis dokter tersebut via pesan WhatsApp.

Pewajiban rapid test di maskapai penerbangan tanah air juga tak lazim. Alvin Lie, anggota Ombudsman, berpendapat cuma Indonesia saja yang menerapkan syarat uji rapid test di maskapai transportasi.

"Ketersediaan alat tes diutamakan untuk [orang yang menunjukkan gejala], tidak dibisniskan seperti di sini," ujar Lie, seperti dikutip dari Bisnis (2/7/2020).

Sejumlah pakar wabah penyakit juga telah memberi nilai merah bagi pemanfaatan tes antibodi di Indonesia. Epidemiolog Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, pada sebuah cuitan Twitter pada 1 Juli 2020 mengatakan sejak awal pengadaan tes cepat sudah "extra-ordinary kusut" dan tidak akurat untuk penapisan.

Gajah di Pelupuk Mata Tak Nampak

Pernyataan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 untuk memanggil pengunjuk rasa dari kelompok Manusa seakan mengabaikan fakta sumirnya pengelolaan tes antibodi di Indonesia.

Menghadapi pemerintah yang limbung, figur seperti JRX pun seakan di atas angin.

Sosok Jerinx sudah terkenal vokal menyuarakan kritiknya terhadap badan otoritas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia kerap menuduh Badan Kesehatan Dunia (WHO) membuat narasi palsu tentang pandemi COVID-19 yang telah menginfeksi 16,7 juta orang per Rabu, (29/7/2020). Ia menuduh sejumlah filantropis tajir sebagai otak di balik skenario pandemi SARS-CoV-2. Dan lebih fatal lagi, ia ogah mempercayai pentingnya protokol kesehatan, karena dianggap “tidak manusiawi” dan sekadar menimbulkan kepanikan.

Belum diketahui secara pasti berapa persentase penduduk Indonesia yang setuju dengan pemikiran JRX. Unjuk rasa Manusa pekan lalu konon diikuti ratusan orang di Bali. Di media sosial, pandangan-pandangan JRX kerap diamplifikasi oleh akun seperti @teluur yang diikuti 239 ribu akun Instagram. Pemikirannya juga bisa disimak di beberapa video debat yang tersebar di kanal video Youtube.

Vokalnya JRX dalam mengkritik pandemi juga diikuti segelintir orang dari kalangan figur publik. Ambil contoh, Erdian Aji Prihartanto atau biasa dikenal sebagai Anji. Mantan vokalis band Drive ini baru saja dikritik, terutama oleh organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI), perihal komentarnya atas sebuah potret jenazah COVID-19. Dalam permintaan maafnya, Anji mengakui potret karya fotografer Joshua Irwandi tersebut “powerful”, namun, ia pada dasarnya hanya mengkritik bagaimana “penyebaran informasi (mengenai pandemi) terasa janggal.” Bisa dibayangkan bagaimana yakinnya orang-orang dari kelompok ini mengenai realita di lapangan.

 

 

 

 

 

View this post on Instagram

 

 

 

 

 

 

 

 

 

To photograph the victims of coronavirus in Indonesia is the most heartbreaking, most eerie photography I have ever done. In my mind at the time I only thought what happened to this person may well happen to people I love, people we all love. I’ve witnessed first hand how the doctors and nurses are continuously risking their lives to save ours. They are the true heroes of this story, and the only way to appreciate their work is to follow what they advise us. We felt it was absolutely crucial that this image must be made. To understand and connect to the human impact of this devastating virus. The image is published here today as a reminder and a warning, of the ever looming danger. To inform us of the human cost of coronavirus and how world governments have let matters get so far. As we head towards the second wave of the pandemic, people must realise they cannot take this matter lightly. This photograph accompanies an article that appears in the National Geographic Magazine @natgeo in the new upcoming August 2020 issue. LINK IN BIO. It is also the first time I’d see the image in print. There are many people to thank, most notably @kayaleeberne, in which this is the first print NG story she edited; @jamesbwellford for reacting on the story from early on; @andritambunan, @kkobre, and @paullowephotography for their advice; and last but not least my mentor @geertvankesterenphoto for his unrelenting support since day one. I would like to dedicate this to the medical staff – whose selfless efforts allow us to continue to live. I am truly humbled to be in their midst countering this pandemic. And to my late Uncle Felix who, two years before he passed away earlier this year, sent me an email: ‘Keep on taking pictures and never fail to report to let the world know what has really happened.’ Please share this story and please act. This is the pandemic of our lifetime. We must win this battle. Supported by the @forhannafoundation and @insidenatgeo COVID-19 Emergency Fund for Journalist. @natgeointhefield #natgeo #joshuairwandi #natgeoemergencyfund #documentaryphotography #photography #covid19 #covidstories #nationalgeographicsociety #pandemic #stayathome

A post shared by Joshua Irwandi (@joshirwandi) on Jul 14, 2020 at 11:57pm PDT

Kritik kelompok kecil yang vokal seperti JRX dan Anji kerap terkesan menenggelamkan upaya-upaya pemerintah untuk tampil gagah dan bisa dipercaya.

Baru-baru ini Koordinator Uji Klinis Vaksin COVID-19 Kusnandi Rusmil menolak permintaan Presiden Joko Widodo yang meminta uji klinis calon vaksin Sinovac bisa selesai dalam waktu cepat, "kalau bisa dalam 3 bulan." Seperti diceritakannya pada wartawan usai menemui sang Presiden di Istana, Selasa (21/7/2020) ia mengaku menolak permintaan tersebut atas dasar harus melakukan uji klinis dengan hati-hati dan benar.

Pemerintah Indonesia saat ini terlihat gagu dalam menjawab skeptisisme publik. Jangankan menjawab JRX atau orang-orang yang jelas sangsi pada protokol kesehatan saat pandemi COVID-19, menghindarkan diri dari tingkah yang ironis saja pemerintah masih belum mampu.

Publik juga harus menerima kenyataan bahwa pemerintah ternyata bangga bisa melakukan seremoni-seremoni ketika angka kematian COVID-19 di Indonesia tertinggi kedua di ASEAN. Belum lagi soal komunikasi publik yang lebih mengedepankan pendengung (buzzer) daripada lewat kebijakan yang tegas dan terukur.

Enam bulan dibayangi pandemi, pemerintah Indonesia perlu lebih cepat lagi membenahi diri. Mereka bisa memetik hikmah dari protes kelompok Manusia beberapa hari lalu bahwa kekonyolan pemerintah bisa berakibat lebih banyaknya orang yang turun ke jalan tanpa memakai masker dan menjaga jarak.

Rekomendasi