Coba kita renungi bersama, sudah sejauh mana perjalanan kita bersama saudara sebangsa lain memenuhi amanat itu? Atau jangan-jangan saat ini kita malah sedang berjalan ke arah sebaliknya?
Sabtu (31/3), Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto berpidato di hadapan ratusan kader partai di Hotel Holiday Inn, Cikarang Utara.
Kepada kadernya, Prabowo menyampaikan pandangan terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA). Prabowo mengaku bingung, bagaimana mungkin ada masyarakat miskin ketika negara memiliki kekayaan yang amat melimpah?
Prabowo yakin, kesalahan dalam mengelola SDA adalah salah satu biang kerok persoalan kemiskinan. Dan kembali pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 adalah satu-satunya jalan memperbaiki situasi ini.
"Jadi kuncinya, kita harus menjaga kekayaan bangsa sendiri agar kekayaan itu bisa dinikmati oleh warga negara kita sendiri," kata Prabowo.
Pada kesempatan lain di Depok, Jawa Barat, Minggu (1/4), Prabowo menyebut para elite bangsa pemangku kepentingan berkontribusi besar menjerumuskan masyarakat dalam kemiskinan.
"Elite kita minta ampun deh. Gua aja kapok sama elite Indonesia," kata Prabowo.
Baca Juga : Ajakan Kritis Pilih Pemimpin dari Prabowo
Pengelolaan SDA dari zaman ke zaman
Buat melihat sejauh mana akurasi omongan Prabowo kali ini, kami mengumpulkan data yang menggambarkan bagaimana elite bangsa mengelola SDA dari waktu ke waktu. Maklum, belakangan ocehan Prabowo kerap bikin gaduh.
Masih ingat, ketika Prabowo menyebut bangsa Indonesia akan bubar pada 2030? Saat itu, ocehan Prabowo yang didasari tulisan dalam novel karangan P.W. Singer dan August Cole berjudul A Novel of The Next World War: Ghost Fleet (2015) itu memicu kegaduhan.
Ya, siapa juga yang enggak parno ketika negaranya disebut bakal bubar, macam Jerman Timur atau Yugoslavia, gitu? Come on, dude!!!
Baca Juga : Harimau Mengaum, Kafilah Berlalu
Orde Lama
Presiden pertama Indonesia yang juga proklamator bangsa, Soekarno pernah berujar, "Jika belum ada ilmuwan Indonesia yang mampu mengeksplorasi kekayaan bumi Indonesia, maka kekayaan itu baiknya tetap di dalam perut bumi Indonesia ketimbang diolah asing."
Mengutip dari buku Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 karya Mas'oed Mohtar (1989), tergambar betul bagaimana Soekarno amat tegas menjaga bangsa Indonesia untuk 'Berdikari' alias berdiri di atas kaki sendiri.
Makanya, Soekarno dan jajaran elite di masa Orde Lama cenderung menerapkan paham anti-asing dalam kebijakan-kebijakannya.
Orde Baru hingga Reformasi
Berbeda dengan era Orde Lama, di zaman Orde Baru hingga Reformasi, elite bangsa mulai menerapkan kebijakan-kebijakan yang terbuka pada asing. UU Nomor 17 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang lahir dalam Orde Baru kemudian jadi pintu masuk bagi investor asing mengelola SDA bangsa. Sejak UU tersebut, keran eksplorasi SDA Indonesia terbuka seluas-luasnya untuk asing.
Richard Robinson dalam Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme (2012) bahkan mengambarkan bagaimana UU itu sangat pro-asing. Dalam UU itu, disebut pula bahwa perusahaan asing yang berinvestasi di dalam negeri enggak perlu dinasionalisasi. Amanat UU itu tentu bertentangan banget dengan semangat nasionalisasi aset bangsa yang sebelumnya lantang disuarakan Soekarno dan Orde Lama.
Kebijakan-kebijakan pro-asing ini sejatinya kerap diprotes. Sebuah cerita panjang tentang eksplorasi PT Freeport Indonesia di Papua tentu gambaran paling nyata bagaimana kekeliruan pemerintah mengamankan SDA dari eksploitasi bernama eksplorasi yang dilakukan asing.
Selain PT Freeport Indonesia, sejumlah kisah lain menggambarkan, pemerintah bukan hanya keliru bersikap, tapi juga lalai dalam menjaga SDA.
Dalam sektor perikanan, kisah penangkapan ikan secara ilegal jadi situasi yang enggak kunjung terselesaikan. Selain itu, kebijakan pemerintah mengekspor bahan baku tanpa mengolahnya terlebih dulu jadi masalah lain yang harus dibenahi.
Bayangkan, Indonesia sempat jadi pengekspor kayu mentah hasil tebangan, ketika di saat yang sama menjadi negara pengimpor kertas dan pulp yang notabene adalah produk turunan dari kayu dan berharga lebih mahal.
Pengelolaan SDA Era Jokowi
Hingga zaman pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), berbagai permasalahan terkait pengelolaan SDA belum juga beres, meski sejumlah langkah telah dilakukan.
Di sektor kehutanan misalnya, di mana supremasi hukum coba diperkuat untuk mengatasi pencurian kayu ilegal. Selain itu, pemerintah juga tengah mempersiapkan rencana strategis pemanfaatan hutan yang dicontek dari Finlandia dan Swedia yang berhasil mengedepankan aspek pelestarian lingkungan di luar aspek bisnis.
Pada sektor perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudsjiastuti telah menjelma jadi momok paling ditakuti para pencuri ikan. Sejak menjabat menteri, Susi berkali-kali meledakkan kapal pencuri ikan. Bagi Susi, hal itu adalah simbol supremasi hukum yang coba ia tegakkan.
Dalam sektor pertambangan, pemerintah telah mengambil alih Blok Migas Mahakam dari tangan Perancis dan Jepang. Selain itu, pemerintah juga berhasil melakukan nasionalisasi perusahaan pengelola Tambang Newmont melalui Medco yang kini telah berubah nama menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Selain itu, di aspek mineral dan pertambangan, langkah penting telah diambil pemerintah dalam kisah panjang kerja sama dengan PT Freeport Indonesia. Pemerintah saat ini telah mengubah kontrak PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Baca Juga : Bayang Arbitrase dalam Divestasi Saham Freeport
Artinya, jika dahulu Indonesia dan PT. Freeport Indonesia berada sejajar dalam kerja sama ini, sekarang Freeport berdiri di bawah pemerintah Indonesia. Selain itu, divestasi saham yang tengah dilakukan juga telah berjalan. Pemerintah diproyeksi akan menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia di waktu mendatang.