20 Tahun Reformasi: Ramai-ramai Pergi dari Indonesia

| 18 May 2018 07:10
20 Tahun Reformasi: Ramai-ramai Pergi dari Indonesia
Ilustrasi ramai-ramai meninggalkan Indonesia (Rahmad/era.id)
Serial panjang peringatan 20 tahun reformasi era.id berlanjut. Jakarta geger pasca empat mahasiswa Trisakti tertembak hingga tewas lantaran berteriak reformasi. Kerusuhan kacaukan ibu kota. WNA yang ada di Indonesia bergegas kembali ke negara asalnya. 

Jakarta, era.id – Pasca penembakan empat mahasiswa Trisakti, situasi Jakarta makin membara. Tak hanya kerusuhan, penjarahan, bahkan pembakaran terjadi di sejumlah daerah di ibu kota. Situasi kian mencekam tatkala aksi kekerasan berbasis prasangka rasial terjadi di mana-mana. Saat itulah, Jakarta mencatatkan salah satu sejarah terkelamnya.

Rangkaian tragedi itu memaksa warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia pulang ke negara asalnya. Baik karena keinginan sendiri maupun perintah resmi dari negaranya, berbondong-bondong WNA bertolak membawa ketakutan dari Jakarta.

Hari ini, 20 tahun yang lalu, 18 Mei 1998, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Zainuddin Sikado mencatat telah mengeluarkan 116 izin terbang (flight approvals) untuk penerbangan khusus (carter) guna mengevakuasi WNA yang pergi dari Indonesia. Pengajuan izin terbang paling banyak adalah rute Jakarta-Singapura atau Jakarta-Hongkong.

Kabar tersebut disampaikan Zainuddin dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Perhubungan di Jakarta kala itu.

Zainuddin menyebut, jumlah permintaan izin terbang terus bertambah, seiring dengan meningkatnya jumlah WNA yang pergi meninggalkan Indonesia.

Baca Juga: 20 Tahun Reformasi dan Kerugian Ngeraa Saat Kerusuhan

Baca Juga: Peringatan 20 Tahun Reformasi dan Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998, warga asing kembali ke negara asal (Infografis: era.id)

Permintaan izin terbang didominasi oleh maskapai penerbangan asing dibanding dengan maskapai penerbangan Indonesia. Pesawat khusus tersebut masuk ke Indonesia dengan kondisi tak membawa penumpang, dan kembali ke negara asalnya dengan mengangkut penumpang yang dievakuasi.

Sementara itu, Kepala Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU) kala itu, Harry Bhakti, mengatakan, izin terbang yang telah pihaknya keluarkan mencapai 164. Dari jumlah itu, empat di antaranya adalah maskapai Indonesia yang di-carter oleh penumpang WNA.

Minimnya maskapai nasional yang digunakan untuk mengevakuasi WNA dikatakan Direktur Niaga Garuda kala itu, Sudarso Kaderi, lantaran sulit memperoleh izin terbang dari negara tujuan, utamanya tujuan Singapura.

Saat itu, Garuda menyediakan maskapainya untuk di-carter, yaitu Garuda Boeing B737-300 yang dibanderol harga USD5 ribu/jam. Namun, karena penumpang membeludak, Garuda menggantinya jadi Garuda Boeing B-747 dengan kapasitas tempat duduk lebih dari 400 penumpang. Untuk penerbangan maskapai Merpati, Direktur Niaga Merpati kala itu, Indra Setiawan menyebut pihaknya menyediakan pesawat jenis F-28 dengan biaya sewa sekitar USD3.500-4.000/jam. Pesawat tersebut rata-rata mengevakuasi penumpang ke Singapura dan Hongkong. Selain dua maskapai itu, Mandala juga ikut menyediakan maskapainya, Mandala Boeing 737-200.

Kala itu, suasana Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng sangat padat. Ratusan orang antre di sejumlah counter maskapai penerbangan untuk meninggalkan Indonesia. Situasi tersebut mendorong beberapa kedutaan besar negara asing berinisiatif membuka counter, untuk membantu melayani membeludaknya penumpang. 

Rekomendasi