Definisi RUU Anti-terorisme, DPR Terbelah dua

| 24 May 2018 07:02
Definisi RUU Anti-terorisme, DPR Terbelah dua
Rapat RUU Anti-terorisme (Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Pembahasan revisi UU Anti-terorisme terus berlanjut. Di mana DPR bersama pemerintah telah memutuskan dua opsi alternatif terkait definisi terorisme. Dari dua versi itu, fraksi DPR terbelah dua.

Pemerintah pun mencoba mengakomodir masukan sejumlah fraksi di DPR yang menginginkan adanya frasa ideologi dan motif dalam definisi revisi undang-undang tersebut. Pemerintah pun memasukkan frasa motif politik dan motif ideologi ke dalam definisi versi kedua.

"Pemerintah tidak bisa memutuskan. Oleh karena itu. Secara terbuka dibawa besok saja. Kita Raker besok. Paling tidak malam ini perlu lapor. Kalau dua alternatif ini dibawa ke Raker. Tinggal besok diputuskan," tuturnya, dalam rapat timsin, di Gedung DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5).

Menurut Supiadin, pihak DPR menyerahkan seutuhnya kepada pemerintah jika dua alternatif definisi tersebut ingin dibawa ke dalam rapat kerja dengan pemerintah untuk diputuskan. 

"Jadi silakan pemerintah mau dibawa. Dua-duanya dibawa ke Raker. Jadi, yang alterntif pemerintah itu. Kedua, ini perkembangan di forum. Kemudian, supaya tidak menghambat sinkronisasi. Seperti di KUHP ada pending isu di Raker. Jadi ini tetap saja dua. Pada saat itu ada proses mekanisme sebelum rapat. Saya kira dua-duanya," ucapnya.

Adapun definisi terorisme di RUU Anti-terorisme itu disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkum HAM Enny Nurbaningsih berbunyi:

Alternatif 1

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Alternatif 2

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara.

Ada dua fraksi yang memilih alternatif pertama yaitu PDIP dan PKB. Sementara sisanya yaitu Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, PKS, NasDem, dan Hanura memilih alternatif kedua.

Delapan fraksi itu pun punya alasan masing-masing memilih alternatif kedua, dengan catatan menghilangkan diksi 'negara' di frasa 'gangguan keamanan negara' yang ada di bagian akhir alternatif definisi yang kedua.

"Hanura setuju alternatif ini dengan penambahan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan. Sehingga penghentian negara itu jadi jamak. Jadi mestinya keamanan, sehingga menyangkut perintah negara. Hanura setuju," ujar anggota F-Hanura Dossy Iskandar.

"PPP setuju (dua). Tidak perlu ada kata negara," kata anggota F-PPP Arsul Sani. 

Sementara itu, anggota F-PKS, TB Soemandjaja memilih alternatif kedua tanpa kata 'negara'. "Kami cenderung dengan keamanan bersifat umum. Misal ke presiden. Supaya beda dengan pidana umum. Misalnya untuk negara, bangsa dan tumpah darah Indonesia. Cukup keamanan saja. Kita maklum, rumusan adalah luas pemahamannya," ungkapnya

Di sisi lain, dua fraksi yaitu PDI Perjuangan dan PKB mendukung definisi terorisme pada alternatif pertama, yakni tanpa menyertakan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan.

Menurut Anggota Pansus dari Fraksi PKB Muhammad Toha, memilih alternatif pertama karena dinilai tak membatasi definisi dari terorisme. "Sekali lagi, dengan alasan kalau ada motif itu menjadi hal yang membatasi. Kita akan cenderung ke alternatif satu," tutur Toha.

Rekomendasi