Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut, lewat RUU KUHP itu, kewenangan KPK terancam disunat. Sebab, RUU KUHP itu mengatur bagaimana penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan kasus korupsi bakal dikembalikan ke Polri dan Kejagung.
“Artinya, KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP, yang berarti KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan,” ungkap anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Lalola Easter dalam keterangan yang era.id terima, Sabtu (2/6/2018).
Enggak cuma itu, Lalola juga bilang, masih banyak pasal yang bermasalah dalam RUU KUHP tersebut. Misalnya, perubahan signifikan ihwal hukuman koruptor, yakni penghapusan kewajiban pembayaran uang pengganti kepada negara.
“Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum, bahkan dihukum bersalah, tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara karena RUU KUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi,” tutur Lalola.
Lebih lanjut, Lola bilang, sejumlah catatan itu sudah cukup untuk dijadikan alasan menolak pengaturan delik korupsi dalam RUU KUHP.
Sikap KPK
KPK sendiri telah menyampaikan sikap mereka terkait RUU KUHP ini. Terakhir, KPK telah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait RUU KUHP ini. KPK bilang, ada berbagai alasan kenapa lembaga antirasuah ini harus mengirimkan surat kepada Jokowi.
Salah satu alasan yang diungkap KPK adalah bahwa mereka melihat ada risiko terhadap pemberantasan korupsi yang terkandung dalam RUU KUHP itu. Karenanya, KPK berharap delik tindak pidana korupsi (tipikor) enggak disertakan ke dalam RUU yang pengesahannya kemungkinan dilakukan pada Agustus mendatang.
“KPK menyampaikan kepada presiden dan sejumlah pihak terkait dengan proses pembahasan UU agar dapat dipahami risiko pelemahannya terhadap pemberantasan korupsi jika RKUHP seperti sekarang dipaksakan pengesahannya,” ungkap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
“Pertanyaannya sederhana, apakah sekarang pembentuk undang undang memang ingin melemahkan pemberantasan korupsi yang sedang kita lakukan secara serius atau ingin memperkuat?” tambahnya.
Febri sih yakin Presiden Jokowi memiliki semangat besar dalam pemberantasan korupsi. Karenanya, Febri yakin, enggak sulit untuk Jokowi menghapus pasal tipikor dari RUU KUHP. “Selanjutnya dapat dibahas lebih lanjut melalui revisi UU 31/1999 yang sekarang sedang berlaku,” tutup Febri.
Sebelumnya, Pengamat Hukum Pidana Umar Husin dalam sebuah diskusi menyebut bahwa KPK tak bisa terus berpegangan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. KPK harus mematuhi KUHP yang akan disahkan pada Agustus mendatang sebagai UU pokoknya.
Sikap lembaga antirasuah menyurati Jokowi pun dianggap enggak etis. Bahkan, Umar menyebut KPK telah melakukan pembangkangan. Bagi KPK sendiri, tuduhan Umar ini sama sekali enggak substansial, sehingga enggak perlu dipersoalkan.
“Terkait dengan adanya respon berlebihan hingga tuduhan yang menyebut KPK melakukan pembangkangan birokrasi dari salah seorang narasumber terkait surat KPK ke Presiden tentang RKUHP, kami pandang hal tersebut tidak substansial,” kata Febri.
Korupsi bukan perkara luar biasa
Nah, pandangan berbeda malahan disampaikan oleh advokat senior, Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, KPK enggak perlu takut dengan pembahasan RUU KUHP. Lagipula, Maqdir bilang, korupsi bukan kejahatan luar biasa, kok.
Menurut Maqdir, korupsi adalah kejahatan yang terkesan luar biasa karena mayoritas dilakukan oleh pejabat negara. “Korupsi ini sebenarnya kejahatan biasa. Enggak ada yang berlebihan. Namun, ini secara umum dilakukan oleh pejabat yudikatif dan legislatif,” tutur Maqdir.
Maqdir menjelaskan, dalam UU internasional, korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan enggak pernah secara spesifik disebut sebagai aktivitas yang melibatkan uang, suap-menyuap, apalagi dikaitkan dengan jabatan tertentu.
“Kita ribut bahwa korupsi itu kejahatan luar biasa, dan itu sumbernya dari undang-undang Tipikor kita. Saya kira ini kejahatan biasa dan hanya karena dilakukan oleh pejabat,” tutur Maqdir.
Terkait RUU KUHP itu, Maqdir bilang RUU KUHP dilakukan dengan tujuan baik, yakni menyatukan UU yang selama ini terpisah. “Saya kira begini, ini kan pemberantasan korupsi dengan RKUHP ini kan menjadi satu menjadi UU," tutur Maqdir.
"Kejahatan jabatan, sebab menyebab, dan juga korupsi ini kan mestinya jadi satu kesatuan. Nah, selama ini kan ada perbedaan.”