Tapi, tepat pada momen Ramadan dua tahun lalu, pandangan saya mulai berubah, ketika seorang kawan merayakan ulang tahunnya berbarengan dengan momen Ramadan. Saat itu, ia memilih cara paling asyik untuk merayakan ulang tahun.
Muhamad Reza namanya. Jadi, suatu malam Reza membeli puluhan bungkus nasi padang, kemudian dia mengundang saya dan sejumlah kawan lain untuk menemaninya berkendara keliling Jakarta malam-malam sembari membagi-bagikan bungkus makanan itu.
Mulai saat itu, saya merasakan bagaimana asyiknya menjalankan SOTR sesuai dengan muruahnya. Saling berbagi kehidupan, menebarkan kebahagiaan, meringankan beban sesama. Dan sejak itu juga, saya membenci setiap orang tolol yang menjadikan kegiatan SOTR sebagai hal yang terlihat amat bodoh hingga dilarang.
Celaka betul, sebab remaja-remaja kita nampaknya masih perlu bimbingan. Lihat saja laporan sejumlah media online pada Minggu dini hari (3/6) soal tawuran di sejumlah titik di Jakarta yang melibatkan masa --kebanyakan pelajar-- peserta SOTR.
Dihimpun dari akun Twitter TMC Polda Metro Jaya, setidaknya ada tiga titik tawuran, mulai dari Jalan Soepomo depan Universitas Sahid pada pukul 01.42 WIB, Jalan Asia Afrika, Senayan pada 03.07 WIB, hingga di Jalan Jenderal Soedirman, tepatnya di depan FX pada 03.14 WIB.
Enggak cuma itu, tembok underpass Mampang-Kuningan yang enggak tahu apa-apa juga jadi korban para remaja kurang pintar dan kurang kerjaan itu. Mereka merusak infrastruktur yang umurnya baru beberapa bulan itu dengan berbagai coretan dari tinta semprot.
Reaksi otoritas
Di Jakarta, larangan terhadap kegiatan SOTR sejatinya sempat diberlakukan di era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Waktu itu, Ahok beralasan bahwa SOTR berpotensi mengganggu kebersihan, ketertiban, ketentraman, dan keamanan.
Larangan itu sempat ditentang oleh Anggota DPD RI, Fahira Idris. Di akun Twitternya, Fahira waktu itu menganggap larangan Ahok enggak masuk akal. Sebab, jika dibanding dengan pesta tahun baru, dampak dari SOTR enggak ada apa-apanya. Lagipula, SOTR kan sejatinya merupakan ajang beramal. Kenapa pula dilarang?! Begitu kira-kira pikir Fahira.
Di era Gubernur Anies Baswedan, SOTR kembali ramai dilakoni. Regulasi pun jadi hal yang paling disoroti. Belum adanya regulasi yang mengatur hal ini disebut-sebut jadi penyebab menjamurnya lagi kegiatan SOTR.
Kalau sebagai reaksi spontan sih Anies sudah berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya terkait sanksi apa yang pas untuk remaja-remaja itu. "Tadi saya bicara dengan Kapolda, dan Pak Kapolda cerita bahwa setiap petugas kepolisian sudah siap berjaga, dan akan menghalau, menghentikan," kata Anies di Polda Metro Jaya.
Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengencam aksi vandalisme yang dilakukan para peserta SOTR kemarin. Sandi bilang, dia enggak bakal tinggal diam. Kalau perlu, Sandi akan cari para pelaku vandalisme itu ke sekolah-sekolah.
"Kami tegas, tidak mengizinkan SOTR, apalagi mengajurkan, karena SOTR lebih banyak mudaratnya, kami ingin menggantinya dengan Sahur in The masjid," tegas Sandi.
Dari DPRD, sikap senada disuarakan. Anggota DPRD dari fraksi Nasdem, Bestari Barus mendorong Pemprov DKI untuk segera mengeluarkan peraturan gubernur untuk membatasi kegiatan SOTR. Dan yang lebih penting dari penerbitan peraturan itu adalah Anies dan Sandi wajib mengawal implementasi peraturan tersebut di lapangan.
"Kalau diterbitkan suatu aturan, maka dikawal aturan tersebut. Pemprov DKI enggak mungkin enggak tahu titik-titiknya," ujar Bestari.