Di saat yang bersamaan pula, terbukanya peluang AD untuk merebut ruang pada pemerintahan Indonesia makin jadi. Setelah momen ini pula, masa kepimpinan Soeharto berakhir.
Dimulai dari tarik ulur Angkatan Darat untuk menjaga stabilitas keamanan, desakan mahasiswa yang saat itu dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), hingga manuver ciamik Soeharto dkk untuk mengambil alih tampuk kekuasaan via dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Setelah pertanggung jawabannya di MPRS di tolak, Bung Karno lengser dan menjadi tahanan politik rezim Orde Baru. Sejak saat itu pula, sulit untuk mengetahui kondisi terkini Bung Karno hingga pada akhirnya, dia mengalami masa kritis dan dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
Pada 21 Juni, hari Minggu sekitar pukul 07.07 WIB, putra sang fajar mengembuskan nafas terakhir. Komplikasi gagal jantung, ginjal, dan sesat nafas membuatnya menyerah.
Semua kesengsaraan yang dirinya dapat pasca dijatuhkan oleh pionir Orde Baru pun berakhir. Tapi hal itu bukan akhir dari segalanya. Walau Soekarno wafat, proses de-Soekarnoisasi tetap berjalan. Salah satu proses itu adalah sikap politik yang dilakukan oleh Soeharto saat memilih tempat pemakaman mendiang.
Sebelumnya, Soekarno telah membuat sebuah wasiat. Dia ingin dimakamkan di Bogor, tepatnya di Istana Batu Tulis. Wasiat itu dimasukkan dalam buku yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
"Saya berharap rumah terakhir saya dingin, pengunungan, daerah Priangan yang subur dimana saya bertemu pertama kali dengan petani Marhaen," ujar Bung Karno.
Lambat laun setelah wawancara dengan Cindy Adams, Soekarno menyatakan secara ekplisit bahwa Ia ingin dimakamkan di Istana Batu Tulis.
Akan tetapi wasiat itu tidak didengarkan oleh Presiden Soeharto. Baginya, pemilihan Kota Blitar dikatakan lebih cocok karena memiliki makna yang lebih apik.
"Bung Karno sangat mencitai ibunya, ke manapun dirinya, selalu meminta sungkem, minta doa restu, dan memakamkan disamping ibundanya adalah pilihan tepat," ujar Soeharto, dilansir dalam Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).
Beberapa Sejarawan menganggap pemilihan tempat pemakaman dari Bung Karno murni keputusan yang bersifat politis. Pada 2015, dalam diskusi Bung Karno Lahir Dimana?: Bagaimana Kita Memperlakukan Sejarah, di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sejarawan Peter Kasenda menyatakan, faktor penting yang membuat Blitar dijadikan sebagai kota pemakaman adalah aksesnya yang jauh dari pusat pemerintahan Orde Baru, Jakarta.
"Kita harus tahu ziarah politik 400 sampai 500 ribu orang setiap tahun ke makam Bung Karno. Saat berziarah di situ ada dua tujuan. Pertama, rumah keluarga Bung Karno dan kedua, makamnya," papar Peter.
Karena diperkirakan banyaknya jumlah peziarah yang mendatangi makam, rezim Orde Baru takut ingatan kolektif Orde Lama kembali lahir dan menganggu tampuk kekuasaan sang Jendral. Ini juga alasan kenapa Soekarno dimakamkan di Blitar.