Candu Buzzer dan Influencer, Jalan Pintas Muluskan Kebijakan Kontroversial
ERA.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintah mulai kecanduan menggunakan jasa buzzer dan influencer ketimbang humas kementerian atau lembaga untuk mendengungkan suatu isu.
"Jadi pertanyaan juga institusi kehumasan yang dimiliki pemerintah, jika influencer semakin marak, jadi tak berguna," ujar peneliti ICW Egi Primayogha dalam diskusi daring, Kamis (20/8/2020).
Egi memaparkan, pemerintah di era kemimpinan Presiden Joko Widodo telah menggelontorkan anggaran besar untuk memakai jasa para jagoan di media sosial. Artinya, pemerintah tidak percaya diri dengan program-programnya, sehingga harus menggunakan jasa influencer.
"Dari situ nampak Jokowi tak percaya diri dengan program-programnya sehingga perlu menggelontorkan dana untuk influencer," ujar Egi.
Jika terus menggunakan jasa influencer, ICW menilai akan membuat pemerintah terbiasa mengambil jalan pintas. Artinya, dengan sengaja memakai jasa influencer untuk menggiring opini publik, khususnya terkait sebuah kebijakan yang kontroversial.
"Misalnya, guna memuluskan kebijakan publik yang kontroversi, maka pemerintah ambil jalan pintas dengan menggunakan influnecer untuk memperngaruhi opini publik," kata Egi.
Hal tersebut, kata Egi, tentunya tidak sehat bagi proses demokrasi dan dapat menimbulkan persoalan besar ke depannya. Sebab, keberadaan influencer itu dikhawatirkan menutup ruang percakapan publik terkait kebijakan yang dibuat pemerintah.
"Itu menjadi soal karena ini tidak sehat dalam demokrasi, karena dia bisa mengaburkan substansi kebijakan yang sedang disusun dan ujung akhirnya tertutupnya ruang percakapan publik yang sehat tentang kebijakan itu," papar Egi.
Senada dengan Egi, Ketua YLBHI Asfinawati juga menilai penggunaan jasa influencer atau buzzer oleh pemerintah diyakini bisa menipu publik. Sebab, sebagai pihak yang dibayar belum tentu juga paham dengan apa yang diiklankannya.
Sementara publik, bisa jadi terlanjur percaya. Karena, menurut Asfinawati banyak yang tak bisa membedakan mana yang pendapat pribadi dan mana yang bayaran.
"Yang masalah dengan influencer atau buzzer itu, publik tdak bisa membedakan mana yang karena pendapat pribadi dan mana yang iklan. Mungkin beberapa orang bisa mengira-ngira tapi pasti lebih banyak yang tidak," katanya.
Dia lantas mencontohkannya dengan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang sempat dipromosikan oleh sejumlah artis dan influencer beberapa waktu lalu.
Asfinawati berpandangan, dengan kehadiran para influencer ini bisa bedampak ketika RUU Cipta Kerja ini mendapat penolakan dari masyarakat, pemerintah bisa menjadikan influencer dan para pengikutnya sebagai legitimasi pendukung RUU Cipta Kerja. Padahal, kenyataannya itu hanya bayaran saja.
"Artinya, bukan pemerintahan yang dari oleh untuk rakyat, tapi pemerintahan yang pemerintah yang dipilih oleh rakyat yang mengambil suara pemerintah sendiri untuk pemerintah sendiri. Suara rakyatnya tidak ada. Tidak ada lagi demokrasi," pungkasnya.