Kisah Sedih Masyarakat Adat di Balik Baju Khas NTT Jokowi

| 20 Aug 2020 14:05
Kisah Sedih Masyarakat Adat di Balik Baju Khas NTT Jokowi
Jokowi memakai baju adat NTT (Twitter)

ERA.id - Beberapa waktu yang lalu, akun resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengunggah video yang menampakkan represi aparat kepada masyarakat adat Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam cuitannya, masyarakat adat Pubabu disebut menolak memperpanjang izin pinjam pakai lahan untuk proyek peternakan Pemprov NTT (kerjasama dng Australia) Kontrak 25 thn (sejak 1987) sudah  habis masa pada 2012 silam. Penolakan itulah yang jadi masalah kemudian, lalu direpresilah mereka.

Kata AMAN, pengelolaan hutan memang ada aturannya, apalagi hutan adat. Ia melanjutkan, Hutan Adat Pubabu sempat diubah namanya jadi Hutan Besipae atas inisiatif Pemprov NTT dan Australia.

Hutan Adat Pubabu adalah wilayah Nais Kio, artinya hutan terlarang menurut aturan adat. Nais Kio bertujuan menjaga kelestarian tutupan hutan dan keragaman hayati. Makanya, tidak boleh dikelola siapapun. Aktivitas berburu di dalam Hutan Adat Pubabu juga dilarang.

Sekadar diketahui, selepas pakaian adat NTT yang dipakai Jokowi banyak dibincangkan warganet, represi dari aparat mulai dilakukan di daerah adat Pubabu, bukan dengan bentakan lagi, namun tembakan sebanyak tiga kali untuk mengusir warga.

Sesuai dari rilis yang dibuat Solidaritasi Perempuan lewat akun Twitter @Soliper_SP, 18 Agustus 2020, Brimob mendatangi lokasi pengungsian masyarakat adat Pubabu. Di sana, mereka disuruh keluar, namun warga adat tetap bertahan.

Sementara menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), masyarakat Adat Pubabu bersikeras menolak keinginan Pemerintah Provinsi NTT untuk mengosongkan pemukimannya. Imbas dari penolakan itu, mereka direpresi di tanah leluhur yang mereka huni.

“Komnas HAM telah menerima pengaduan dari masyarakat adat Perbabu pada Jumat (7/8/2020). Berdasarkan keterangan saksi dan korban, terdapat dugaan adanya kekerasan, upaya paksa, dan pelanggaran HAM dalam proses pengosongan pemukiman mereka,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Selasa (18/8/2020) lalu.

Komnas HAM, kata Beka, menyayangkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Komnas HAM akan segera mengagendakan peninjauan langsung terkait kasus masyarakat adat Pubabu," kata dia.

Kabar ini bukan isapan jempol belaka. Ini diakui Kapolres Kabupaten Timur Tengah Selatan, AKBP Ariasandy. Kata Aria, anggotanya menembak, tapi bukan menembak untuk memberi peringatan. Tembakan itu gas air mata, dan tidak diarahkan ke warga yang ada di lokasi masyarakat adat Pubabu.

"Akhirnya anggota Brimob melepaskan gas air mata ke arah tanah di depan kaki anggota itu sendiri, tidak ke arah masyarakatnya, tidak mengarah ke situ, dan tujuan itu supaya masyarakat itu bisa mengikuti imbauan," kata Aria dikutip dari IDN Times, Rabu (19/8/2020) kemarin.

Keributan itu, menurut Aria berawal dari rangkaian kegiatan penertiban tahap ketiga dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, yang dibantu polisi dan TNI untuk merelokasi warga yang berusaha bertahan di desa tersebut. Penertiban ini sudah berjalan sejak Maret 2020, dan sudah berlangsung sekitar 10 hari.

Ia menambahkan, pemerintah daerah setempat sudah memberikan opsi kepada masyarakat dengan menyediakan lahan seluar 800 meter sebagai hak milik, dan dibangunkan rumah serta diberikan pekerjaan.

"Mereka juga dipekerjakan di instalasi peternakan, tapi mereka tetap tidak terima. Kemarin itu sudah direlokasi semua, mereka bersedia rumahnya dirubuhkan, lalu dibangun rumah baru, sudah dibangunkan sama Pemprov, tapi tetap mereka tidak mau bergeser dari lokasi itu," ujar dia.

Ia juga menyangkal rilis Solidaritas Perempuan yang menyebut bahwa Brimob menahan anak-anak dan perempuan. Mereka yang ditahan, kasusnya berbeda. "Ada orang yang dicurigai sama anggota kita, masuk ke dalam rumah, diikuti, ternyata di dalam rumah itu dia menyembunyikan tas ditutup dengan karung, itu diselidiki ternyata di situ ada bubuk mesiu," katanya.

"Nah anggota kita tidak mau bersentuhan dengan mereka karena riskan, karena itu perempuan dan anak-anak, artinya sudah kita kasih gambaran mereka bahwa hati-hati, karena gerakan mereka ini sudah berafiliasi dengan  Komnas HAM, perempuan. Mereka pasti akan mencari momen di mana ada gambar, ada kejadian yang mereka frame," tandas Aria.

Tags : jokowi polisi
Rekomendasi