PKS Sebut Ada 'Invisible Hand' yang Batalkan RUU Pemilu

ERA.id - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyebut ada tangan tak terlihat atau invisible hand yang membuat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menyebut, keberadaan invisible hand mulai terasa usai Presiden Joko Widodo mengumpulkan sejumlah orang eks Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin di Istana Negara beberapa waktu lalu. Setelah itu, fraksi-fraksi dari partai politik pendukung pemerintah langsung berubah terhadap pembahasan RUU Pemilu.

"Ada invisible hand ketika pak Jokowi menyatakan perubahan. Kemudian mengundang juru bicara TKN maka berubah ya (sikap partai politik pendukung pemerintah)," ujar Mardani dalam acara diskusi daring, Kamis (11/2/2021).

Mardani mengatakan, awalnya seluruh fraksi di Komisi II DPR RI setuju dengan pembahasan RUU Pemilu, termasuk soal normalisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 2022 dan 2023. Namun, dari kabar yang diterimanya, setelah ada hasil survei ke masyarakat terkait penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 yang buruk dibandingkan pelaksanaan Pilkada 2024, rencana pembahasan RUU Pemilu sepakat tak diteruskan.

Hanya saja Ketua DPP PKS ini tak menjelaskan siapa yang menampilkan survei tersebut. Menurut Mardani, hal itu menunjukkan adanya tirani demokrasi yang sangat berbahaya.

"Ini harus betul-betul kita cermati karena praktik-praktik tirani demokrasi kian berjalan dan itu sangat berbahaya. Belum lagi awalnya saya dapat info bahwa (Pilkada) 2022 dan 2023 on. Tapi ketika ada hasil survei terjadi jeblok, (Pilkada) 2022 dan 2023 di-off-kan," kata Mardani.

Lebih lanjut, Mardani mengaku bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada memang belum terlaksana. Namun, berkaca dari Pemilu serentak 2019 lalu yang berdampak pada banyaknya petugas KPPS meninggal dunia karena kelelahan seharusnya menjadi landasan untuk meneruskan pembahasan RUU Pemilu.

"Harus kita hitung, plus ada banyak kesusahan teknis ketika Pileg, Pilpres, Pilkada disatukan," kata Mardani.

Sebelumnya, Komisi II DPR RI sepakat untuk tidakmelanjutkan Revisi Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu). Kesepakatan tersebut diambil seluruh pimpinan dankapoksi di Komisi II DPR.

"Tadi saya sudah rapat dengan seluruh pimpinan dan kapoksi yang ada di Komisi II dengan melihat perkembangan dari masing- masing parpol terakhir ini kami sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan ini," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (10/2).

Kesepakatan itu diambil setelah terjadi polemik mengenai waktu pelaksanaan Pilkada. Dalam draf RUU Pemilu, jadwal Pilkada dinormalisasi dari yang seharusnya digelar serentak dengan Pileg dan Pilpres di 2024, menjadi ke 2022 dan 2023.

Namun hal itu ditolak oleh Presiden Joko Widodo yang tetap menginginkan Pilkada digelar di 2024 dengan alasan UU Pilkada yang berlaku saat ini belum dijalankan. Belakangan, sikap partai-partai politik pendukung pemerintah pun mulai berubah menjadi satu suara dengan Jokowi.