ERA.id - Anggaran relokasi atau refocusing penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19 menjadi temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumut. Hal itu sempat menjadi sorotan Fraksi PDI Perjuangan saat rapat paripurna di DPRD Sumut.
Ditanya terkait hal itu, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi mengatakan jika temuan tersebut masih dalam tahap pemeriksaan dan pencocokan. Dia juga menyinggung jika hal tersebut semestinya bukan ranah publik melainkan internal.
"Sebenarnya yang begitu (temuan BPK) itu selama 60 hari akan dilakukan pencocokan dan penyamaan pendapat. Harusnya itu masih ranah internal belum ranah publik. Aneh juga saya sampai wartawan bisa tahu" kata Edy, saat ditemui di Rumah Dinas Gubernur Sumut, Jumat (2/2021).
Edy menjelaskan, proses pemeriksaan BPK akan menjadi ranah publik jika ditemukan adanya pelanggaran dan berlanjut ke ranah hukum. Dia mengatakan dalam prosesnya, program yang telah direncanakan harus melalui pemeriksaan BPK sebelum menjadi pertanggungjawaban. Dari proses pelaporan menuju pertanggungjawaban itu, dilakukan pemeriksaan oleh pengawas dalam hal ini kata Edy adalah BPK.
"Jadi dari pelaporan ke pertanggungjawaban itu ada waktu 60 hari. Di situ di periksa, nanti kalau dalam waktu itu memang tidak dapat dipertanggungjawabkan maka akan masuk ke ranah hukum. Ini saya jelaskan ya, ada perencanaan kemudian dianggarkan disitu sudah masuk DPRD sebagai fungsi pengawasan kemudian lanjut pelaksanaan. Setelah dilaksanakan baru ada pelaporan dan pertanggungjawaban," ujarnya.
Edy hingga saat ini proses pemeriksaan oleh BPK sedang berjalan. Jika dalam pemeriksaan tersebut ditemukan ada pelanggaran maka akan berlanjut ke ranah hukum.
"Masih 40 hari berjalan, kalau itu tak selesai barulah ke ranah hukum. Kalau sekarang Itu ranah saya, intern, kalian tak boleh tahu. Itu lah saya suruh untuk mencari, benahi, atur, mengapa ada perubahan dan ada kesalahan," ungkapnya.
Sebelumnya, Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut sempat menyoal anggaran delapan program penanganan Covid-19 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi temuan BPK RI.
Kritikan itu disampaikan juru bicara FPDI Perjuangan Arta Berliana Samosir dalam pandangan akhir terkait (LPJP) APBD Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2020, pada sidang paripurna Kamis (24/6/2021).
PDI Perjuangan menilai temuan BPK RI tersebut adalah persoalan material yang memengaruhi kepercayaan dan keraguan terhadap kemampuan Gubernur Edy Rahmayadi dalam mengelola keuangan Provinsi Sumatera Utara. Delapan temuan yang tidak sesuai ketentuan itu tidak dapat dimaklumi hanya dengan jawaban apologatif.
"Persoalan lebih lanjutnya adalah, mengapa penggunaan anggaran sebesar itu luput dari pengawasan saudara gubernur dan bagaimana anggaran Rp70.036.126 yang tersebar dalam delapan kegiatan yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 benar-benar tidak bisa dipertanggungjawabkan? Tentunya hal ini merupakan tindak pidana korupsi," ungkapnya.
Dalam pendapat akhir itu, Fraksi PDI Perjuangan mengkritisi jawaban Gubernur Edy terhadap empat poin dalam laporan keuangan yang pada 17 Juni lalu disebut mengecewakan.
Ada pun empat poin tersebut yakni temuan delapan penggunaan anggaran yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh gubernur, target dana bagi hasil (DBH) yang hanya mencapai 81,28 persen. Selanjutnya, pendapatan daerah yang sah dari sumber lain yang capaiannya hanya 62,23 persen, yang dinilai merupakan capaian terendah. Dan keempat terkait pengangkatan dan atau penunjukan pejabat pemerintah dengan status PLT yang begitu lama dan dugaan terjadinya nepotisme dalam pengangkatan dan atau penunjukan pejabat daerah baik di eselon I, II, dan III.
Fraksi PDI Perjuangan memberikan catatan keras terhadap realisasi APBD Pemprov Sumut tahun 2020 yang kurang maksimal termasuk anggaran relokasi atau refocusing untuk penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19 yang mengalami banyak kebocoran.