ERA.id - Coronavirus Disease (COVID-19) telah menginfeksi 86 juta orang sejak pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, November 2019. Penyakit ini telah merenggut 1,86 juta nyawa di seluruh dunia, Rabu (6/1/2021), demikian dilaporkan Bloomberg.
Berbagai organisasi dunia dan negara telah berupaya menghentikan pandemi. Mulai dari melakukan penguncian total (total lockdown) hingga memastikan perilaku 3M di kalangan warga.
Namun, nasib mujur belum berpihak pada manusia. Sejak musim panas 2020, banyak negara mendapati sejumlah gelombang baru infeksi korona. Mutasi virus SARS-CoV-2, ditambah varian baru yang ditemukan di Inggris, mempercepat proses penularan dari orang ke orang.
Sehingga, salah satu jalan keluar yang bisa ditempuh banyak negara adalah memvaksin sebanyak mungkin orang hingga memunculkan kekebalan kelompok (herd immunity). Negara-negara telah mencurahkan triliunan rupiah ke riset dan teknologi vaksin COVID-19, mengujicobakannya ke puluhan ribu relawan,, memperbesar kapasitas pabrik produksi, dan mempercepat distribusinya ke pasar.
Kampanye vaksinasi COVID-19 pun menjadi yang terbesar dalam sejarah. Pekan ini lebih dari 15 juta dosis vaksin telah diberikan di 35 negara, seperti dilaporkan Bloomberg. Masih ada miliaran dosis vaksin lagi yang perlu diberikan, dan itu menghasilkan tantangan logistik yang sangat masif.
Tantangan Unik di Tiap Negara
India adalah salah satu negara yang tantangan distribusi vaksinnya paling berat. Pemerintahan Narendra Modi harus memberikan vaksin ke 1,35 miliar penduduk. Tidak hanya sekali, tapi dua kali, mengingat vaksin AstraZeneca-Oxford yang mereka gunakan harus diberikan dalam 2 dosis ke setiap orang.
Memang, India sudah memiliki skema imunisasi terbesar di dunia, yaitu 'program imunisasi universal'. Seperti dilaporkan The Guardian, program ini setiap tahunnya memberikan vaksin difteri, polio, campak, dan penyakit menular lain kepada 26 juta bayi. Program ini juga dikabarkan berhasil mengimunisasi 30 juta ibu hamil.
Namun, imunisasi ibu hamil berbeda dengan vaksinasi COVID-19. Rantai suplai dingin di India yang mencakup 27.000 titik suplai "berada dalam kondisi memprihatinkan", demikian dideskripsikan The Guardian. Knob pengatur suhu banyak yang tidak berfungsi, vaksin tidak diawasi dengan baik, dan listrik sering padam selama beberapa jam.
Itu belum menyangkut berapa jumlah personil kesehatan, sanitasi, dan keamanan yang dibutuhkan. Pada akhirnya, pemerintah India membutuhkan kerja ekstra untuk mencapai target memvaksinasi 300 juta warganya pada akhir Agustus nanti.
"Frustrasi"
Beda India, beda pula Amerika Serikat.
Tahun 2020 mungkin bukan tahun terbaik bagi Negeri Paman Sam. 'Digoyang' terus oleh kondisi sosio-politik selama ajang pemilihan presiden, Amerika Serikat kini tak hanya menghadapi momen terberat sejak pandemi, tapi mereka juga kesulitan mencapai target vaksinasi korona.
Vaksinasi di AS dimulai pada 14 Desember lalu. Sejauh ini 5,05 juta dosis vaksin Pfizer-BioNTech telah diberikan ke warga AS, berdasarkan data Bloomberg dan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC). Namun, itu masih jauh dari target. Pemerintahan Presiden Donald Trump menargetkan bisa memberikan 20 juta dosis vaksin pada awal Januari.
Saat ini 'baru' 30 persen stok vaksin di tiap negara bagian AS yang sudah diberikan ke warga.
Sentimen serupa bisa ditemui di Kanada di mana warganya mengaku "frustrasi" atas lambannya program vaksinasi COVID-19. Pemerintahan federal di Ottawa sebenarnya telah membeli 500.000 vaksin Pfizer dan Moderna, dan satu juta dosis vaksin berikutnya diharapkan akan tiba pada akhir Januari, demikian dilaporkan Reuters, (6/1/2021).
Namun, pemberian vaksin korona berjalan lambat di 10 provinsi yang memang diserahi tugas menjalankan program vaksinasi.
"Seluruh warga Kanada, termasuk saya, frustrasi melihat vaksin masih ada di mesin pendingin dan bukan di tangan warga," kata Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Selasa.
Populasi Kanada sendiri berjumlah 38 juta orang, dan PM Trudeau sudah memastikan bahwa setiap warganya akan mendapatkan 2 dosis vaksin COVID-19.
Dikepung Hoaks
Di negeri sendiri, Indonesia, program vaksinasi korona sudah mulai digaungkan dalam sepekan terakhir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, yang diharapkan bisa membenahi komunikasi publik pemerintah yang buruk selama 2020, menyatakan pada Selasa (29/12/2020) bahwa Indonesia akan menyediakan 426 juta dosis vaksin. Angka ini sangat mencukupi kebutuhan Indonesia untuk memvaksin 181,5 juta warga.
Minggu lalu, PT Bio Farma, sudah mengirim lebih dari 710.000 dosis vaksin Sinovac ke 34 provinsi dan pihak terkait sudah memastikan bahwa vaksinasi bisa langsung jalan ketika ada aba-aba dari pusat.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo bakal ditunggu pembuktian ucapannya. Masyarakat tak hanya menunggu apakah vaksinasi akan berjalan pada "pertengahan Januari", namun, juga apakah vaksin korona buatan Sinovac, yang dipesan Kemenkes hingga 125 juta dosis, benar-benar manjur dan efektif. Hingga kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum merilis ijin penggunaan darurat (EUA) atas vaksin ini.
Itu semua harus terjadi di tengah beredar luasnya hoaks mengenai vaksin COVID-19. Dunia maya membombardir warganet dengan berita bohong soal bahan vaksin Sinovac, hingga label kemasannya. Hingga kini berita simpang-siur semacam itu masih terus tersebar di grup-grup Whatsapp keluarga atau di media sosial.
Namun, di luar kabar-kabur itu, mayoritas warga dunia masih menyimpan kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan jalan keluar yang ditawarkan vaksin COVID-19.
Total produksi vaksin COVID-19 saat ini memang tak akan mampu mencukupi kebutuhan vaksinasi untuk 7,8 miliar penduduk dunia. Namun, ini adalah salah satu peluang terbaik umat manusia dalam mengakhiri pandemi yang telah merenggut lebih dari 1,86 juta nyawa dan mengakibatkan malapetaka ekonomi global.