WHO Jelas Tak Sarankan Ivermectin Jadi Obat Covid-19 dan Pejabat Indonesia Seharusnya Tahu

| 22 Jun 2021 17:26
WHO Jelas Tak Sarankan Ivermectin Jadi Obat Covid-19 dan Pejabat Indonesia Seharusnya Tahu
Obat ivermectin biasanya digunakan di sejumlah negara untuk mengatasi infeksi parasit, seperti kecacingan. (Foto: Community Eye Health/Flickr)

ERA.id - Meski sempat populer di Peru, Bolivia, dan sejumlah negara Amerika Latin - dan kini ikut dipopulerkan oleh sejumlah pejabat di Indonesia - obat ivermectin, yaitu obat anti-parasit dengan harga terjangkau, tidak direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai terapi atau obat infeksi Covid-19.

Nama ivermectin mengemuka di awal pandemi, April 2020, ketika ilmuwan berusaha menggunakan obat apa saja yang dirasa berguna untuk meredakan gejala infeksi Covid-19 - yang saat itu belum ada obat atau vaksinnya.

Majalah Nature, (20/10/2020), mencatat bahwa ilmuwan di Australia mengatakan ivermectin dosis tinggi bisa menyetop virus SARS-CoV-2 untuk berkembang dalam sel. Satu makalah pra-cetak juga rilis secara daring, tak lama kemudian, mengatakan bahwa obat anti-parasit ini bisa mereduksi risiko kematian akibat Covid-19.

Namun, tak lama kemudian, makalah-makalah tersebut dicopot dari situs bersangkutan karena para penelitinya merasa makalah itu belum siap untuk dicermati lebih lanjut (peer-reviewed).

Namun, hal ini tak menghentikan popularitas ivermectin sebagai 'obat Covid-19', meski tanpa bukti. Nature mencatat pada Mei 2020, obat ini begitu dicari hingga tenaga kesehatan di Bolivia membagikan 350 ribu dosis ivermectin pada warga yang membutuhkan.

Bulan Mei 2020 juga, 20 ribu botol ivermectin 'kualitas aspal' (animal-grade) dijual di pasar gelap sebagai terapi infeksi Covid-19; belakangan, polisi menangkap para penjual obat ini. Di bulan Juli, bahkan universitas di Peru mengumumkan akan memproduksi 30 ribu dosis ivermectin untuk mendukung suplai.

Padahal, bukti kemanjuran ivermectin sebagai obat dan terapi Covid-19 masih belum banyak.

Erick Thohir
Menteri BUMN Erick Thohir, pada Selasa, (22/6/2021), menekankan bahwa ivermectin produksi PT Indofarma Tbk adalah obat terapi Covid-19. (Dok: Antara)

Panduan WHO Soal Ivermectin

Pada 13 Maret 2021, WHO telah merilis panduan mengenai terapi dan obat Covid-19 yang menyebutkan badan PBB tersebut menyarankan ivermectin jangan dipakai sebagai obat Covid-19, kecuali dalam tujuan pengujian klinis.

Dilansir dari Health Feedback, (19/4/2021), panduan WHO dibuat berdasar diskusi dengan panel ahli yang menganalisa 16 pengujian acak terkontrol melibatkan 2.407 partisipan.

Pada halaman 19 panduan tersebut WHO merangkum bahwa penggunaan ivermectin pada pasien Covid-19 mengurangi risiko kematian hingga 80%, dan risiko pasien diopname hingga 64%. Kelihatannya angkanya menjanjikan, bukan?

Banyak pihak mempertanyakan kenapa meski data terlihat menjanjikan, namun WHO tidak merekomendasikan penggunaan ivermectin. Hal ini pernah dimuat dalam laman Collective Evolution (13/4/2021), Laman tersebut bahkan mengutip 'analisa' lain dari CovidAnalysis yang menyebut efikasi ivermectin 81% dalam mereduksi risiko kematian Covid-19.

Kevin Wilson, profesor di Boston University School of Medicine dan Chief Guidelines and Documents di American Thoracic Society menjelaskan, di Health Feedback, bahwa angka 81% itu memasukkan data "dari uji klinis kualitas buruk yang menimbulkan bias pada hasil."

Keputusan WHO tidak merekomendasikan ivermectin juga didasari hal yang sama. Dari 16 uji acak yang mereka analisa, hanya lima riset bersifat 'standar emas' yang bisa dipakai untuk mengambil keputusan setingkat WHO. Dan dari lima riset itu, dua diantaranya berpotensi bias karena metode penelitiannya atau karena protokol ujinya kurang transparan.

"Ketika riset pengujian yang risiko biasnya tinggi telah disingkirkan dari analisa, level reduksi tingkat kematian (dari ivermectin) disebut secara statistik sangat kecil" seperti ditulis di Health Feedback.

Artinya, kemungkinan besarnya, efek positif ivermectin terhadap pasien Covid-19 hanya bersifat kebetulan.

"Kegunaan ivermectin semakin kecil seiring meningkatnya kualitas riset yang dimasukkan dalam meta-analisa," sebut Profesor Wilson.

WHO juga menyebut ada risiko analisa yang meleset terkait analisa efek ivermectin karena jumlah kematian yang bisa dianalisa terlalu sedikit. WHO menyebut bisa saja efek pengurangan risiko kematian pasien Covid-19 terjadi secara kebetulan. Untuk memvalidasi ini, dunia membutuhkan lebih banyak penelitian dalam skala besar.

Ivermectin Bukan Obat Covid-19

Organisasi PBB itu mewanti-wanti ada kesalahpahaman dalam melihat obat ivermectin, yang telah masuk dalam Model List of Essential Medicines di tahun 2019, terkait efikasi dan keamanannya. Namun, ini untuk infeksi parasit, dan bukan untuk infeksi virus seperti pada pasien Covid-19, seperti disebut di Health Feedback.

Keputusan WHO ini juga didukung sejumlah badan pengendali obat dan makanan, mencakup FDA di Amerika Serikat, Infectious Diseases Society of America, Badan Obat Eropa (EMA).

Bahkan Merck, produsen dari ivermectin, tidak merekomendasikan penggunaan obat ini pada pasien Covid-19 karena adanya risiko keamanan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 10 Juni juga merilis penjelasan tentang ivermectin. Ivermectin 12mg telah terdaftar di Indonesia sebagai obat kecacingan.

BPOM menyatakan masih perlu memastikan khasiat dan keamanan ivermectin terhadap Covid-19 lewat uji klinis di bawah koordinasi BPPK, Kemenkes dan sejumlah rumah sakit.

Rekomendasi