ERA.id - Sedikitnya 20 ribu demonstran menduduki jalanan kota Berlin, Jerman, pada Sabtu (1/8/2020) sebagai protes masih diterapkannya pembatasan sosial meski angka infeksi COVID-19 di negara tersebut cukup rendah
Demonstrasi tersebut dibubarkan oleh polisi karena para demonstran terus-menerus melanggar aturan wajib masker dan menjaga jarak 1,5 meter.
Demonstrasi yang dinamai End of the Pandemic - Day of Freedom pun sempat berujung ricuh. Setidaknya 133 demonstran ditangkap dan 45 personil kepolisian terluka. Beberapa jurnalis dikabarkan juga jadi target serangan secara verbal dan fisik, kata The Guardian.
Deomnstrasi ini diikuti massa dari berbagai spektrum, termasuk beberapa anggota partai neo-Nazi NPD dan Reichsburger alias Citizens of the Reich, juga beberapa pengikut grup teori konspirasi sayap kanan QAnon, pengikut kelompok grup anti-Islam Pegida, dan para penolak vaksinasi yang menyebut diri kaum esoteris.
Selain menunjukkan penolakan yang makin luas terhadap pemerintahan Jerman, demonstrasi Sabtu lalu juga dikhawatirkan menaikkan tingkat infeksi COVID-19 yang merangkak naik selama dua pekan terakhir.
Sejumlah peneliti sosial menilai protes akhir pekan lalu di Jerman adalah gejala fenomena 'prevention paradox'. Ini adalah kondisi ketika suatu kelompok dilarang melakukan sesuatu, mereka justru melakukan yang sebaliknya.
Seperti dikatakan oleh Stephan Mayer, juru bicara internal Christian Social Union, mengatakan bahwa para peserta aksi protes tersebut terlalu naif dan gagal melihat situasi yang terjadi di luar Jerman ketika tingkat infeksi masih tinggi.
Helmut Dedy, kepala the Association of German Cities, yang mewakili agenda dari 200 kota di Jerman, mengatakan bahwa warga memiliki hak untuk berdemonstrasi. Namun ia menganggap protes tidak bisa dijustifikasi "bila berubah menjadi klaster persebaran virus korona."