ERA.id - Novel coronavirus disease, atau disebut COVID-19, merebak pertama kali di Wuhan, China pada pertengahan Desember 2019.
Awalnya, dokter mengira, wabah infeksi pernafasan akut SARS seperti tahun 2009 sedang terulang kembali. Orang-orang datang dengan gejala pneumonia. Ruang-ruang IGD terisi dengan cepat. Belakangan diketahui, bahwa virus yang menyebabkan infeksi pernafasan tersebut, SARS-CoV-2, sangat efektif dalam menginfeksi manusia.
Namun, seiring dengan meluasnya infeksi COVID-19 ke Lombardy (Italia) hingga Madrid (Spanyol), peneliti berkejaran dengan waktu untuk menghindari tumbangnya nyawa lebih banyak lagi.
Per 6 Agustus 2020, menurut statistik Our World in Data, sudah ada 707.715 nyawa yang direnggut oleh COVID-19 secara global. Sementara itu, ada 18,8 juta orang yang telah terinfeksi penyakit ini.
<iframe src="https://ourworldindata.org/coronavirus-data-explorer?yScale=log&zoomToSelection=true&country=~IDN&deathsMetric=true&interval=total&aligned=true&hideControls=true&smoothing=0&pickerMetric=location&pickerSort=asc" loading="lazy" style="width: 100%; height: 600px; border: 0px none;"></iframe>
Sembari dunia kedokteran bergerak cepat di medan misterius pandemi COVID-19, ada fakta-fakta baru yang mungkin baru kita ketahui saat ini. Berikut ini di antaranya.
Vaksin Eksperimental mRNA
That which doesn't kill us, makes us stronger. Ucapan filsuf Friedrich Nietzsche itu selain menggambarkan kehidupan, juga menjelaskan cara kerja vaksin, yang dulunya dibuat dengan teknik melumpuhkan suatu virus, lalu menyuntikkannya ke tubuh seseorang. Teknik ini akan memicu kekebalan tubuh seseorang terhadap penyakit tertentu. Misalnya, virus tetanus.
Ketika COVID-19 meluas menjadi pandemi, suatu teknik bernama mRNA, atau messenger RNA, tengah dikembangkan di Boston dan Texas, Amerika Serikat. Maka, perusahaan Moderna pun segera tancap gas bereksperimen dengan teknik mRNA untuk membuat vaksin COVID-19.
A snapshot of Moderna in August, 2020 pic.twitter.com/HMWdg8DNcW
— Moderna (@moderna_tx) August 5, 2020
Vaksin eksperimental ini menggunakan RNA messenger sintetis (mRNA) untuk memicu munculnya antibodi terhadap virus korona. Jadi, alih-alih menggunakan virus asli, vaksin mRNA hanya menggunakan 'kode pemrograman' dari virus yang akan diberantas. Selain efektif, vaksin jenis ini bisa diproduksi dalam waktu lebih cepat daripada vaksin tradisional. Dengan pendanaan hingga 955 juta dolar AS (Rp13,8 triliun) Moderna mengaku mampu memproduksi vaksin ini pada akhir tahun 2020.
Gejala Psikiatri Pasien COVID-19
Tak ada yang suka menderita penyakit, apalagi COVID-19 yang mengharuskan pasien untuk dirawat terpisah dari orang lain dalam kondisi antara hidup dan mati.
Faktanya, sebuah studi di Milan, Italia, menemukan bahwa 55 persen pasien infeksi COVID-19 menunjukkan gejala gangguan psikis pasca sembuh.
Dari 402 pasien COVID-19 yang diteliti pasca keluar dari rumah sakit, 28 persen kasus post-traumatic stress disorder (PTSD), 31 persen kasus depresi dan 42 persen kasus kegelisahan (anxiety). Selain itu, 40 persen pasien mengalami insomnia dan 20 persen lainnya mengalami gejala obsesif-kompulsif (OCD).
Studi medis mutakhir memang sudah mengaitkan peradangan dengan kasus depresi. Hal ini membuka celah penelitian selanjutnya tentang bagaimana sebaiknya situasi ini bisa diobati. Khususnya, ketika jumlah gangguan psikiatri di kalangan pasien COVID-19 tampak konsisten.
Melacak COVID-19 dengan Anjing Pelacak
Soal tajamnya indra penciuman anjing mungkin sudah rahasia umum. Spesies ini dikenal memiliki 3 juta reseptor olfaktori, atau indra penciuman. Angka ini 50 kali lebih banyak daripada yang dimiliki manusia.
Namun, mungkin belum banyak orang tahu bahwa anjing pelacak bisa melacak penyakit, misalnya malaria, kanker, dan penyakit Parkinson.
Police dogs in Chile are being trained to detect Covid-19 in humans by sniffing their sweat. The “bio-detector” canines are expected to be trained by mid-September and sent to places with high concentrations of people. pic.twitter.com/Q3bB4hM5G6
— M N A (@mnaEN) July 23, 2020
Di Chili, melanjutkan penemuan sebuah riset di Inggris, polisi melatih anjing pelacak untuk mengendus keringat orang yang terinfeksi COVID-19. Ketika anjing berhasil mengidentifikasi seorang yang aroma keringatnya khas, tim kesehatan akan membawa orang tersebut keluar dari kerumunan dan memberikan tes PCR untuk mengetes adanya infeksi COVID-19.
Prevention Paradox
Protokol kesehatan tak selalu mendorong orang untuk mencuci tangan lebih rajin, atau memakai masker setiap kali berada di ruang publik. Pemberlakuan protokol kesehatan juga bisa menimbulkan perlawanan dari warga.
Perlawanan itu bisa berupa demonstrasi tanpa masker, seperti yang terjadi baru-baru ini di Berlin, Jerman. Juga bisa penyebaran konten-konten yang mempertanyakan kebenaran fakta pandemi COVID-19.
Misalnya, di Indonesia, baru-baru ini banyak beredar mengenai pernyataan-pernyataan kontroversial dari Jerinx, drummer Superman is Dead. Ada juga konten Youtube dari Anji, ex vokalis band Drive, yang banyak memberi pernyataan yang mengundang kritik publik.
Thousands march in Berlin to protest coronavirus curbs https://t.co/LHTewXGE7H pic.twitter.com/UCQvXa56XG
— Reuters (@Reuters) August 1, 2020
Pada akhirnya, situasi ini menandakan bahwa masyarakat tak hanya harus menghadapi ancaman riil terinfeksi COVID-19. Namun, tiap orang juga harus menghadapi rasa bosan, penasaran, ketidakpercayaan, dan banyak hal lain, yang menjadi tantangan dalam penanggulangan pandemi COVID-19 di Indonesia.