ERA.id - Gelombang eksodus warga Lebanon mulai nampak setelah terjadinya ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut, 4 Agustus lalu. Ditambah turbulensi politik selama berbulan-bulan terakhir, banyak keluarga memilih pindah ke negara-negara sahabat, seperti Prancis atau Kanada.
Information International, sebuah firma konsultan di Beirut, Lebanon, memiliki data yang mensinyalir naiknya jumlah warga Lebanon yang hengkang dari negara tersebut. Jika sebelum ledakan 4 Agustus ada 3.100 orang yang meninggalkan Lebanon setiap harinya, setelah kejadian itu angkanya bertambah menjadi 4.100 orang per hari.
"Belum ada statistik yang akurat mengenai dampak ledakan tersebut, namun jumlah orang yang keluar dari Lebanon dipastikan akan bertambah selama beberapa bulan ke depan," kata Jawad Adra, pendiri dan mitra pengelola Information International.
"Kita sedang menyaksikan eksodus besar-besaran."
Foto-foto mengenai padatnya terminal keberangkatan di Bandara Rafic Hariri seakan mengekspresikan keinginan warga Lebanon untuk hengkang dari negara tersebut setelah terjadinya ledakan 2.750 ton amonium nitrat yang mengguncang Beirut awal Agustus lalu.
Circulating statistics back in June had 200k+ one way tickets booked out of Beirut. This is starting to look plausible.
Look at the amount of luggage and people in one picture. People leaving Beirut.#Lebanon brain drain curtesy of Hezbollah, Tayyar and Amal. pic.twitter.com/WJR6mfvKpT
— Charbel Hage (@CharbelHage12) August 17, 2020
Sejumlah negara telah menunjukkan solidaritas bagi warga Lebanon dengan mempermudah proses imigrasi. Prancis kembali menerbitkan visa bagi warga Lebanon setelah dibekukannya fasilitas tersebut akibat pandemi virus korona. Sementara, Kanada mengadakan aturan imigrasi khusus untuk mempermudah masuknya warga Lebanon dan residen Kanada.
Kejadian gelombang kepergian warga setempat, atau eksodus, bukan hal baru di Lebanon. Negara yang dikoyak perang sipil tahun 1975-1990 ini juga pernah mengalami paceklik, goncangan politik, dan krisis ekonomi.
"Puluhan ribu manusia telah meninggalkan negara ini selama 10 sampai 20 tahun terakhir. Kebanyakan dari mereka adalah para profesional muda dan warga yang berusia di bawah 45 tahun," kata Adra.
#Lebanon-Today marks the 45th anniversary of the start of the Lebanese civil war, which raged on for 15 years, killing between 150,000-200,000 people and forcing the exodus of around one million people from the country.
📸 pic.twitter.com/fU12MEWfBF
— Mete SohtaoÄŸlu (@metesohtaoglu) April 13, 2020
Mazin Kabbani, seorang karyawan IT berusia 50 tahun, mendapati kaca-kaca rumahnya hancur ketika ledakan terjadi pada 4 Agustus lalu. Momen kala itu mengingatkan kembali momen pahit ketika Beirut, yang dulu pernah disebut 'Parisnya Timur Tengah', hancur karena perang sipil.
"Seketika seakan-akan tidak ada oksigen di udara. Seakan-akan kami kembali diliputi perang," kata Kabbani, seperti dikutip Al Jazeera. Sore itu pun, ia sempat panik karena Alaa, anak perempuannya yang berumur 21 tahun, tak bisa dihubungi selama berjam-jam. Sebelumnya ia pamit akan makan di area Gemayze yang tak jauh dari pusat ledakan.
Beruntung, Alaa mengubah rencananya dan ia pun selamat.
Pascaledakan, Kabbani dan istrinya sepakat untuk pindah dari Lebanon. Ia mengatakan bahwa mereka sedang dalam proses mengurus emigrasi menuju Kanada.
Menurut laporan Information International, data pihak keamanan menunjukkan ada 66.806 warga Lebanon yang meninggalkan negara itu dan tak pernah kembali selama Desember 2018 hingga pertengahan Desember 2019. Angka ini menunjukkan kenaikan 97,5 persen dari tahun sebelumnya.
Banyak keluarga yang memutuskan hengkang dari Lebanon karena alasan masa depan anak-anaknya. Misalnya, Shireen Anouti, ibu rumah tangga berumur 34 tahun, yang awalnya sempat ogah meninggalkan Lebanon bersama tiga anak dan suaminya, Mohamed, yang memiliki kewarganegaraan Swedia.
"Namun, setelah terjadinya ledakan, semua berubah," katanya. Anouti berkata bahwa keluarganya akan pindah ke Swedia dalam beberapa pekan ke depan.
"Sudah waktunya pergi. Lebanon bukan tempat yang aman untuk anak-anakku. Mereka berhak memiliki masa depan yang bebas dari rasa takut dan trauma."