Apakah Sidang Umum PBB ke-75 Tersiksa Nostalgia?

| 23 Sep 2020 20:35
Apakah Sidang Umum PBB ke-75 Tersiksa Nostalgia?
Sidang umum PBB ke-75 diselenggarakan secara virtual. (Al Jazeera)

ERA.id - Adu mulut dan gengsi dua adidaya dunia, Amerika Serikat dan China, ditambah sentimen nasionalisme sempit dan pandemi COVID-19 membuat suasana Sidang Umum PBB ke-75, yang memasuki sesi debat pada Selasa (22/9/2020) menjadi lesu dan "mendung".

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres bahkan menyebutkan bahwa organisasi yang didirikan pasca Perang Dunia II itu kini menghadapi "momen yang menyerupai tahun 1945."

Berbicara di ruang sidang yang hampir lowong, hanya diisi satu atau dua diplomat yang mewakili negaranya, ia memaksudkan alegori 1945 sebagai berkumpulnya satu generasi yang selamat dari perang, lalu memilih bersatu dan membentuk dunia baru. Guterres menyebutkan upaya semacam itu diperlukan untuk menanggulangi pandemi COVID-19 dan krisis iklim yang dampaknya mengamuk di beberapa negara.

Namun, ia juga mengatakan bahwa pada tahun 1945 itu, bibit Perang Dingin juga mulai bersemi. Demikian pula, menurutnya, pada tahun ini perang dagang antara Amerika Serikat dan China bisa bergulir ke "arah yang berbahaya."

"Dunia ini tak menginginkan masa depan di mana dua penggerak ekonomi terbesar kita membagi dunia ke dalam dua bagian, masing-masing dengan aturan perdagangannya sendiri, beserta kemampuan internet dan kecerdasan buatannya (AI)," kata Guterres.

Namun, PBB pun sepertinya masih tersiksa nostalgia. Menurut Julian Borger, yang menulis untuk koran The Guardian, alih-alih memberi podium utama pada negara-negara yang berhasil mengatasi krisis modern seperti pandemi COVID-19 - contohnya, Korea Selatan, New Zealand, dan Jerman - pidato-pidato pertama PBB masih didonimasi lima pemain lama yang berhasil menjadi pemenang Perang Dunia II, yang menggenggam hak veto sebagai penghuni tetap Dewan Keamanan.

Menampilkan pidato-pidato yang telah direkam sebelumnya, sesi pertama Debat Umum pada Selasa lalu diberikan pada Donald Trump, Xi Jinping dan Vladimir Putin, yang mengisi waktu 90 menit pertama dengan melontarkan pandangan dunia yang saling bersilangan. Sementara itu Emmanuel Macron, selama 48 menit non-stop, mencaci maki hubungan AS dan China yang berada pada titik nadir.

Sekjen PBB Guterres sendiri punya kritik khusus mengenai bahwa "populisme dan nasionalisme telah gagal" dan "membuat penanggulangan virus makin berantakan." Dua hal itu jelas menunjuk ke dua pemimpin populis di negara paling terdampak pandemi COVID-19, yaitu Donald Trump di Amerika Serikat dan Jair Bolsonaro di Brazil.

Keduanya selama ini dianggap suka membual, bahkan berbohong, mengenai virus SARS-CoV-2. Amerika Serikat sendiri pada Selasa lalu telah melampaui angka 200.000 kasus kematian akibat COVID-19, dan menjadi negara yang terdampak paling berat oleh pandemi ini.

Pidato para pemimpin negara itu bisa menggambarkan disposisi mereka yang rumpang. Pidato Trump, yang oleh analis PBB  Richard Gowan disebut berbicara "seperti orang yang kebelet kencing" karena berbicara terlalu cepat, diisi caci maki bahwa China harus bertanggung jawab atas pandemi COVID-19. Trump juga menyebut virus korona sebagai "virus China".

Sementara itu, Presiden Xi Jinping barangkali tampak paling "dewasa" dengan berkata bahwa emisi karbon dioksida China akan mulai turun pada tahun 2030 dan bahkan mencapai nol pada tahun 2060. Dan ia mengajukan donasi 100 juta dolar kepada PBB.

Sementara itu, Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa Rusia menawarkan vaksinasi gratis bagi seluruh staf PBB karena vaksin COVID-19 yang mereka temukan telah terbukti "bisa diandalkan dan aman." Namun, dengan latar belakang agen mata-mata KGB yang dikenal berani menggunakan racun polonium-210 dan novichok pada lawan-lawan politiknya, tawaran Putin tersebut akan dipandang dengan getir oleh seluruh anggota PBB.

Barangkali Sidang Umum PBB kali ini beda dari yang sudah-sudah, seakan lebih mendung, oleh karena situasi pandemi yang tak menentu. Namun, seperti disebutkan oleh Borger saat menutup opininya, PBB saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Amerika Serikat di bawah Trump terus mengundurkan diri dari kancah global, dan tak bisa dipungkiri "para aktor penggantinya" ternyata masih sibuk dengan urusan masing-masing dan tak terlalu tertarik mengisi celah yang lowong tersebut.

Rekomendasi