ERA.id - Perusahaan farmasi Johnson & Johnson (J&J) menghentikan uji klinis Tahap 3 dari vaksin COVID-19 mereka setelah 1 volunter mengalami kondisi medis serius. Perusahaan itu belum menjelaskan kondisi yang dialami oleh sang volunter.
Johnson & Johnson juga sulit menyimpulkan apakah sang pasien, satu di antara total 60.000 volunter, menerima kandidat vaksin COVID-19 atau plasebo.
Seperti diketahui, seorang volunter uji klinis tidak tahu apakah yang disuntikkan ke tubuhnya merupakan cairan vaksin atau cairan plasebo, yaitu elemen pembanding untuk mengukur efektivitas dan efek samping vaksin yang akan diuji. Plasebo bisa berupa larutan garam, yang aman bagi tubuh, atau vaksin sungguhan yang telah diakui oleh badan pengawas obat. Contohnya, dalam uji vaksin Oxford/AstraZeneca, plasebo yang digunakan merupakan vaksin septicaemia dan meningitis.
"Kami menghentikan sementara proses uji kllinis vaksin COVID-19 kami," tulis Johnson & Johnson dalam pernyataan yang didapatkan pertama kali oleh media kedokteran Stat. "Sesuai dengan panduan kami, penyakit yang dialami si volunter sedang kami dalami dan evaluasi."
Vaksin Johnson & Johnson, yang sekiranya akan membuahkan hasil pada awal tahun depan, adalah satu dari empat kandidat vaksin COVID-19 paling menjanjikan. Vaksin ini hanya membutuhkan satu kali penyuntikan, sementara vaksin lain, seperti Pfizer dan Moderna, perlu dua dosis penyuntikan.
Uji vaksin COVID-19 di Amerika Serikat ini difasilitasi oleh Operation Warp Speed, proyek dari pemerintah AS untuk mempercepat penemuan vaksin corona.
Dihentikannya uji vaksin Johnson & Johnson dipastikan akan menjadi sorotan para politisi dan warga Amerika.
Sebelumnya, uji klinis vaksin COVID-19 dari Universitas Oxford dan AstraZeneca juga sempat dihentikan untuk kedua kalinya pada bulan September. Namun, uji klinis yang telah berlangsung sejak April itu segera dilanjutkan satu pekan kemudian di Inggris, diikuti di sejumlah negara lainnya.
Johnson & Johnson tidak membeberkan penyakit yang diderita oleh sang volunter. Mereka berdalih hal tersebut untuk "melindungi privasi peserta."
"Kami mendalami lagi penyakit yang dimiliki oleh sang pasien, dan penting disampaikan bahwa kami berusaha mengumpulkan seluruh fakta sebelum menyampaikan informasi apapun," sebut pernyataan perusahaan tersebut.