ERA.id - Rumah-rumah sakit di Italia berjuang menanggulangi kurangnya staf spesialis unit perawatan intensit (ICU) sementara gelombang kedua COVID-19 telah menyebabkan 731 pasien meninggal selama 24 jam terakhir pada Selasa (17/11/2020).
Tingkat kematian akibat infeksi korona baru pada Selasa lalu merupakan yang tertinggi sejak bulan April ketika Italia masih menerapkan karantina total (lockdown). Namun, tingkat kematian itu kembali naik di hari Rabu, ketika 753 pasien korona meninggal dunia dalam satu hari.
Berdasarkan penghitungan Johns Hopkins Unviersity, saat ini 4 dari 100 pasien COVID-19 di Italia meninggal dunia, menjadikan angka ini yang tertinggi ketiga di dunia. Tingkat kematian pada Selasa lalu bisa diartikan satu kematian terjadi setiap dua menit, seperti dilaporkan oleh The Guardian.
Krisis korona di Italia juga menyebabkan jumlah pasien yang perlu dirawat di ruang ICU bertambah dua kali lipat menjadi 3.612 pasien sejak 1 November, sementara jumlah pasien korona di rumah sakit saat ini mencapai 33.074 pasien, atau melampaui jumlah pasien opname yang terjadi selama gelombang pertama COVID-19 (Maret-Agustus).
Permasalahan di Italia sendiri bukanlah soal kapasitas ruang perawatan. Meski kapasitas ruang ICU telah meningkat menjadi 9.931 tempat tidur, hanya ada 625 spesialis anestesi dan resusitasi yang berhasil direkrut sejak awal pandemi.
"Jumlah tempat tidur dan mesin ventilator telah bertambah, namun, jumlah staf kesehatan tak beranjak," kata Giovanni Leoni, wakil presiden serikat dokter Italia, seperti dikutip The Guardian.
"Mereka yang sudah bekerja di RS pun punya beban kerja yang lebih berat. Masalah terbesarnya ada di sini karena tidak mudah mencari ahli anestesi atau perawat yang sanggup bekerja di ICU, karena posisi tersebut membutuhkan keahlian khusus," kata dia.
Banyak tenaga medis memilih untuk mengundurkan diri atau pensiun dini setelah mengalami trauma selama masa gelombang pertama COVID-19. Sementara itu, mereka yang masih bekerja kerap menjadi sasaran kemarahan sebagian orang yang menuduh mereka bertanggungjawab atas pandemi ini.
"Dari dielu-elukan sebagai pahlawan kini kami dianggap sebagai pembawa penyakit," kata Giacomo Grasselli, kepala ICU di RS Policlinico di Milan, Italia.
"Saat ini kami dianggap bertanggungjawab atas diterapkannya kembali pembatasan sosial, membuat orang kembali tidak bebas dan timbulnya berbagai konsekuensi ekonomi."
Berdasarkan survey yang dijalankan Grasselli dan koleganya di Kota Lombardy pada musim semi lalu, 25 persen dari 627 tenaga medis yang mereka wawancarai menyatakan telah menjadi sasaran diskriminasi atau pelecehan. Perlakuan terhadap mereka mencakup tidak diperbolehkan memakai lift apartemen karena pengelola khawatir mereka membawa virus COVID-19, hingga mendapati anak-anak mereka dilarang bermain dengan anak-anak sebayanya.
Sejumlah dokter juga mengalami jendela mobilnya dirusak seseorang. Sementara itu, sebuah mural yang didedikasikan bagi para tenaga medis di Milan turut dirusak.
Terdapat pula rumor yang mengatakan para tenaga medis mendapat uang lebih jika mereka merawat pasien COVID-19, suatu rumor yang juga terjadi di Indonesia.
Beberapa dokter saat ini juga diadukan ke pengadilan oleh keluarga pasien yang meninggal.
"Kami tidak terkejut atas situasi ini... namun, situasi pekerjaan kami tidak biasa," kata Grasselli. "Kami sudah menanggung konsekuensi psikologis atas apa yang terjadi di musim semi lalu - merawat orang-orang yang tidak bisa menemui keluarga mereka, yang kesulitan bernafas, lalu harus memberitahu ke keluarga mereka bahwa sang pasien telah meninggal."
Secara nasional, Italia mencatatkan 32.000 infeksi COVID-19 baru per Selasa lalu. Sementara Kota Lombardy dan kawasan utara menjadi episentrum wabah COVID-19 selama gelombang pertama, kini pandemi telah menyebar hampir ke seluruh pelosok Italia, memaksa negara tersebut menerapkan sistem level merah-kuning-hijau di 20 daerahnya.
Saat ini lebih dari 9.000 pasien COVID-19 telah meninggal di Italia. Para dokter mewanti-wanti bahwa 10.000 pasien lainnya bisa saja meninggal di bulan Desember jika pemerintah setempat tidak mampu menerapkan pembatasan sosial yang lebih agresif.