ERA.id - Seorang wanita berusia 42 tahun asal New York pernah terinfeksi Coronavirus Disease (COVID-19) selama musim semi lalu. Ia mengaku hanya mengalami gejala ringan akibat virus tersebut,tapi, beberapa bulan kemudian ia mengalami halusinasi dan mengaku mendengar suara yang memintanya bunuh diri atau membunuh anaknya sendiri.
Kasus ini diceritakan oleh psikiater bernama Dr Hisam Goueli atas seijin sang pasien. Temuan psikiater yang bekerja di South Oaks Hospital di Amityville, New York, Amerika Serikat, ini pertama kali dilaporkan oleh koran New York Times, Senin (28/12/2020).
Dalam paparan Dr Hisam, sang wanita, yang bekerja sebagai terapis kebugaran dan ibu empat anak, tidak pernah merasakan gejala gangguan jiwa atau memiliki kerabat yang mengidap penyakit tersebut.
Namun, wanita tersebut berurai air mata saat menyampaikan bahwa ia terus-menerus mendapat 'penglihatan' bahwa anak-anaknya, yang kini berusia 2 hingga 10 tahun, dibunuh dengan kejam. Ia bahkan sempat menyusun rencana untuk membunuh mereka.
Pasien tersebut merasa 'melihat' anak-anaknya tertabrak truk, dan satu anak lainnya terpenggal.
"Ia mengalami hal yang sangat menakutkan. Ia adalah seorang wanita sukses dan ia mengaku sangat mencintai anak-anaknya, namun ia sempat mengaku 'saya tak tahu kenapa saya ingin memenggal anak-anak saya,'" tutur Dr Hisam, seperti dikutip New York Times.
Bukan Kasus Satu-Satunya
Di South Oaks Hospital sendiri pasien COVID-19 bisa mendapatkan terapi psikiatri bila diperlukan dan Dr Hisam tidak benar-benar yakin apakah infeksi COVID-19 sendiri yang menyebabkan gejala gangguan jiwa semacam itu. "Mungkin ya, mungkin juga tidak," kata dia.
"Namun," kata dia, "kemudian kami menemui kasus (gangguan jiwa) kedua, ketiga, keempat, dan kami berpikir, 'Ada sesuatu yang terjadi di sini.'"
Belakangan diketahui bahwa banyak dokter melaporkan kasus serupa di seantero AS dan di berbagai negara. Sejumlah kecil pasien COVID-19 yang sebelumnya tidak pernah punya masalah gangguan mental kini merasakan gejala kejiwaan berat.
New York Times lantas merangkum sejumlah kasus gangguan jiwa dari orang-orang yang telah sembuh dari COVID-19. Karyawan panti werdha berusia 36 tahun tiba-tiba mengalami paranoia bahwa seseorang akan menculik ketiga anaknya.
Pekerja bangunan berusia 30 tahun tiba-tiba mengalami delusi dan yakin bahwa sepupunya bakal membunuhnya. Wanita berusia 55 tahun sering berhalusinasi melihat monyet dan singa, dan meyakini bahwa ada 'penyamar' di dalam keluarganya.
Selain kasus-kasus individu, penelitian di Inggris telah meneliti komplikasi syaraf dan kejiwaan dari 153 pasien COVID-19 dan ditemukan bahwa 10 orang dari antara mereka menunjukkan gejala awal gangguan jiwa. Temuan-temuan serupa juga muncul di Spanyol dan beberapa kawasan di AS.
Pakar kedokteran meyakini bahwa disfungsi kejiwaan berat ini tidak akan menjangkiti banyak pasien COVID-19. Namun, kasus-kasus tersebut bisa dijadikan contoh bagaimana infeksi COVID-19 bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fungsi otak.
Awalnya, COVID-19 dianggap sebagai penyakit pernafasan saja. Namun, banyak bukti menunjukkan banyak gejala lainnya, termasuk dampak syaraf, kognitif, dan psikologis. Hal ini pun bisa terjadi meski sang pasien tidak mengalami dampak serius di organ vital, seperti paru-paru, jantung, atau sistem peredaran darah mereka.
Pertanyaan Belum Terjawab
Berdasarkan laporan New York Times, para pakar semakin yakin bahwa gejala mental dari sejumlah pasien COVID-19 dipicu oleh sistem imun tubuh yang merespon virus korona itu. Ada pula kemungkinan ia disebabkan masalah peredaran darah dan pembengkakan akibat infeksi virus.
"Beberapa neurotoksin sebagai reaksi aktivasi sistem imun bisa saja tersebar ke otak, menembus batas salurah peredaran darah ke otak, sehingga bisa menyebabkan dampak ini," kata Dr. Vilma Gabbay, direktur Psychiatry Research Institute di Kota Bronx, New York.
Pasien COVID-19 yang mengalami gejala gangguan jiwa harus menjalani rawat inap selama beberapa pekan, dan dokter akan mencoba beberapa opsi pengobatan untuk meredakan gejala tersebut.
Dalam sejarah, kasus gangguan jiwa terjadi secara sporadis di kalangan pasien yang sembuh dari flu 1918 dan virus korona lainnya, seperti MERS dan SARS.
Berapa lama gangguan kejiwaan ini bisa disembuhkan tergantung pada kondisi pasien. Satu pasien, yang gejalanya mencakup ketakutan akan warna merah dan terhadap para perawat, harus dirawat selama 40 hari agar gejalanya tersebut hilang.
"Kami tak tahu apa penyebab dari gejala ini," kata Dr Hisam. "Apakah gejala ini sepenuhnya akan hilang? Apakah pasien akan membaik? Berapa lama gejala ini akan menghinggapi para pasien? Dan orang seperti apa yang lebih rentan mengalami gangguan jiwa seperti ini?"
"Ada banyak pertanyaan yang masih belum terjawab."