ERA.id - Tim peneliti asal Prancis berhasil menciptakan alat deteksi COVID-19 yang kabarnya bisa menunjukkan hasil pengujian tiga kali lebih cepat dari rapid tes antigen dengan tingkat akurasi setara tes PCR.
Dilansir The Guardian, Selasa, (23/2/2021), alat tes metode elektrokimia ini, yang menggunakan nanosel dari hewan jenis unta (camelid), terbukti 90 persen akurat dengan kecepatan penunjukan hasil selama 10 menit. Pengujian awal dilakukan terhadap 300 sampel dan dibandingkan dengan hasil uji PCR (polymerase chain reaction) terhadap sampel negatif dan positif.
Alat tes ini dikembangkan oleh para peneliti di universitas kota Lille dan Marseille, Prancis, bersama dengan pusat riset ilmiah Prancis CNRS.
Pengujian ini tidak membutuhkan pemrosesan di laboratorium, dan hasilnya bisa ditampilkan lewat ponsel pintar.
"Alat ini bisa diproduksi masal dengan sangat cepat, dan mudah diterapkan di rumah sakit dan bandara serta digunakan oleh para dokter keluarga dan apoteker," sebut profesor farmakologi dari Universitas Lille, David Devos, kepada media lokal Prancis.
Saat ini alat tes PCR masih dianggap sebagai cara deteksi COVID-19 yang paling akurat, namun, berbiaya mahal dan harus dilakukan di laboratorium. Pasien kadang harus menunggu hingga 48 jam untuk tahu hasil uji sampel mereka.
Sementara itu, alat rapid tes antigen, yang mencampurkan sampel usap hidung atau tenggorokan dengan suatu cairan, biasanya membuahkan hasil dalam waktu kurang dari 30 menit, namun, metode ini kerap didebat para ilmuwan. Alat ini dianggap hanya sanggup mendeteksi pasien dengan jumlah partikel virus yang banyak sehingga 'meloloskan' pasien dengan jumlah partikel virus sedikit.
Prototipe alat asal Prancis ini, yang dinamai CorDial-1, menggunakan metode yang berbeda. Alat ini menggunakan partikel antibodi yang lewat alat elektroda diubah menjadi "sensor elektrokimiawi", seperti dikatakan Sabine Szunerits dari Universitas Lille, yang juga pakar biosensor dan nano-medicine.
Alat ini menggunakan sel antibodi dari hewan berjenis unta - seperti unta, llama, dan alpaca - karena sel antibodi mereka lebih stabil daripada milik hewan-hewan lainnya.
Antibodi ini sanggup mendeteksi protein spike dari virus COVID-19 yang ada di sampel pasien dan sanggup bereaksi, lantas mengubah arus listrik yang ada di elektroda. Perubahan ini direspon oleh alat sebesar flash disk, dan ditampilkan secara langsung lewat layar ponsel pintar.
Szunerits, kepada BFMTV, mengatakan prototipe ini akan diujicobakan ke 1.000 orang selama tiga bulan ke depan. Ia berharap metode ini kelak mampu mengukur banyaknya partikel virus dalam sampel dan mendeteksi mutasi virus terbaru.