ERA.id - Perusahaan makanan cepat saji dan minuman bersoda McDonald's dan Coca-Cola menuai kritik dari banyak pihak. Kritik ini lantaran dua perusahaan besar itu tetap membuka toko di Rusia meski situasi kian memanas.
Kritik terhadap dua perusahaan besar tersebut datang setelah banyak pihak yang mendesak mereka agar menghentikan operasi penjualan di Rusia. Bahkan seruan untuk melakukan boikot pun muncul di media sosial.
Netizen secara serempak menyerukan tagar #BoycottMcDonalds dan #BoycottCocaCola hingga menjadi trending topik di media sosial pada Senin dan selama akhir pekan.
Investor Dragon's Den, Deborah Meaden juga berbicara di media sosial menentang perusahaan minuman bersoda yang mendesak orang untuk berhenti minum Coca-Cola.
"Bisakah kamu berhenti minum Coca Cola. Mereka menolak untuk mundur dari Rusia. Mari tunjukkan kepada mereka beberapa kekuatan orang," tulis Deborah Meaden di Twitter.
Kritik itu muncul di tengah seruan agar perusahaan Barat terkenal lainnya seperti KFC, Pepsi dan Starbucks serta Burger King untuk menutup gerai mereka dan menghentikan penjualan di Rusia.
Namun, sebagian besar perusahaan tetap diam tentang masalah ini dengan KFC, Pepsi, Starbucks dan Burger King juga memilih bungkam terkait hal ini.
Rantai makanan cepat saji KFC mencapai tonggak sejarah 1.000 restoran di Rusia tahun lalu. Pada tahun 2021. Dikatakan bahwa pihaknya bertujuan untuk membuka sekitar 100 restoran setiap tahun di sana.
Sementara itu, menurut informasi yang diterbitkan oleh McDonald's, perusahaan makanan cepat saji itu memiliki 846 gerai di Rusia. Perusahaan juga memiliki sebagian besar gerai ini, sedangkan gerai di seluruh dunia sebagian besar dioperasikan oleh pemegang waralaba.
Diketahui McDonald's dan Pepsi telah hadir di Rusia selama beberapa dekade. Kedua perusahaan itu bahkan telah dipilih oleh bos dana pensiun negara bagian New York.
Thomas DiNapoli, pengawas dana pensiun umum negara bagian New York, menulis surat kepada perusahaan. Menurut laporan Reuters, DiNapoli mendesak mereka untuk meninjau bisnis mereka di Rusia karena mereka menghadapi "hukum, kepatuhan, operasional, hak asasi manusia dan personel yang signifikan dan berkembang, dan risiko reputasi".
Meski pun demikian, pemilik waralaba dari tiap perusahaan tersebut dapat mengambil keputusan untuk menutup atau tidak. Hal ini tergantung pada persyaratan perjanjian yang mungkin mereka miliki dengan rantai makanan besar seperti KFC atau Starbucks.
Dalam sebuah pernyataan baru-baru ini, Kevin Johnson, bos Starbucks, menggambarkan serangan di Ukraina sebagai "tidak beralasan" dan "tidak adil". Tetapi sebagian besar gerainya di Rusia tetap buka. Sebagian besar waralaba ini dijalankan oleh Alshaya Group yang berbasis di Kuwait.