ERA.id - Makanan sederhana sering kali tampak menggugah selera. Begitulah yang terjadi pada kuliner komunitas adat. Tanpa perlu boros bumbu atau bahan impor yang mahal, masakan mereka menonjolkan kekayaan rasa yang otentik.
Hanya saja, menurut Silvy Motoh dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), komunitas adat merasa tidak percaya diri akan kekayaan kuliner mereka.
“Mereka berpikir bahwa makanan sehari-hari mereka terlalu sederhana untuk disajikan bagi tamu yang datang dari kota. Ketika kami mengadakan acara di kampung mereka, mereka berusaha keras untuk memasak makanan modern bagi kami. Padahal, kuliner Masyarakat Adat merupakan pengetahuan berharga yang perlu dilestarikan. Karena itu, AMAN berusaha memastikan mereka tetap memasak makanan yang biasa dimasak di komunitas adat, sehingga mereka merasa dihargai," ungkapnya dalam keterangan resmi yang diterima Era.id.
Silvy bercerita, ada dua kategori kuliner Masyarakat Adat, yaitu masakan yang biasa disajikan ketika ritual atau upacara adat (seperti kedukaan, pernikahan, kelahiran), dan masakan untuk konsumsi sehari-hari. Sajian yang dimasak khusus untuk ritual biasanya memiliki makna tersendiri. Memasak daging sapi, misalnya, hanya daging bagian-bagian tertentu yang dipilih, kemudian disajikan kepada para tetua adat. Berbeda dari masakan harian yang kerap menjadi santapan warga. Karena merupakan masakan sehari-hari, maka bahan dan proses memasaknya pun cenderung mudah.
Tiga alumni Masterchef Indonesia (MCI) diundang untuk memasak ulang makanan khas Masyarakat Adat. La Ode (alumni MCI musim 8) memasak manok pansoh dari Kalimantan Barat, Fifin Liefang (alumni MCI musim 6) membuat uta kelo dari Sulawesi Tengah, serta Jordhi Aldyan Latif (alumni MCI musim 6) yang memasak rumpu rampe dari Nusa Tenggara Timur.
Simak, yuk, pengalaman mereka memasak hidangan yang sangat berlainan dengan latar belakang budaya mereka. Sekaligus ini menjadi rahasia mengapa kuliner masyarakat adat bersahaja dan kaya rasa.
1. Petik dari kebun sendiri
Penasaran dengan cerita di balik rumpu rampe, Jordhi sempat bertanya kepada teman yang berasal dari Maumere. Dari dia, Jordhi tahu bahwa rumpu rampe artinya banyak dan beragam, karena bahan-bahan pembuatnya memang banyak sekali.
“Dia bercerita, tidak perlu ada acara khusus untuk memasak rumpu rampe. Banyak masyarakat di sana yang bekerja sebagai petani. Mereka biasa memetik hasil kebun sendiri untuk dibuat menjadi satu hidangan. Jadi, setiap orang bisa makan rumpu rampe.”
Mama Siti, yang merupakan warga asli NTT, menambahkan, tidak ada bahan sayuran yang wajib digunakan untuk memasak rumpu rampe. Apa saja yang ada di kebun boleh dimasak menjadi rumpu rampe. “Karena itu, mencari bahannya tidak susah. Tinggal petik saja dari kebun sendiri. Tapi, yang umum digunakan adalah campuran dari daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan daun ubi atau daun singkong. Semua tinggal direbus, lalu diiris-iris dan diberi bumbu.”
Fifin yang baru pertama kali memasak uta kelo juga bercerita bahwa bahan masakan tersebut mudah ditemukan dan ramah di kantong. “Saya sempat mencari tahu banyak hal soal uta kelo. Makanan sehari-hari ini mirip dengan lodeh, tapi bahannya unik. Sama-sama pakai terong dan santan, tapi uniknya uta kelo juga menggunakan daun kelor dan pisang mentah.”
Yang jelas, menurut Silvy, masakan komunitas adat terbilang ramah lingkungan. Sebab, memanfaatkan bahan yang ada di sekitar. Tak perlu minyak goreng. Tak perlu juga peralatan mewah, termasuk kompor. Cukup kayu bakar dan pembungkus alami, seperti bambu dan daun pisang.
Memasak manok pansoh (Dok. Istimewa)
2. Minim bumbu, kaya rasa
Silvy bercerita, rata-rata kuliner Masyarakat Adat dimasak dengan bumbu minimalis. “Masakan di kampung saya hanya menggunakan tiga bumbu andalan, yaitu garam, daun jeruk purut, dan cabai rawit, termasuk untuk memasak daging sapi. Itu saja sudah cukup. Daun jeruk sebagai aroma dan cabai rawit pun tinggal petik dari halaman. Masakan terasa sangat enak, karena menonjolkan rasa alami dari bahan segar. Dulu tak ada yang mengenal bawang. Sekarang lebih banyak yang dimodifikasi dengan tambahan bumbu bawang,” kata Silvy, yang berasal dari Sulawesi Tengah.
Contoh lain yang disebutkan olehnya adalah bumbu ulat sagu di Halmahera, Maluku, yang hanya menggunakan bawang merah, garam, dan cabai rawit. Atau, sering kali hanya dibakar tanpa tambahan bumbu. Hal serupa juga dilakukan, ketika warga Kalimantan atau Sulawesi memasak ular sawah.
Fifin menyebutkan, uta kelo bumbunya jauh lebih simpel daripada lodeh yang dibubuhi berbagai macam bumbu. “Hanya bawang merah dan cabai rawit. Cita rasanya cenderung asin gurih dan pedas. Rasa manis alami didapat dari daun kelor. Yang menarik adalah tekstur dan rasa pisang mentah yang ketika matang jadi seperti kentang. Orang rumah yang tidak suka pisang saja suka banget menyantap pisang dalam uta kelo.”
Sementara Jordhi bercerita, saat melihat resep rumpu rampe, ia sudah yakin bahwa masakan ini akan jadi makanan favoritnya yang baru. Soalnya, menonjolkan kekayaan rasa dari bahan makanan Indonesia. “Ada rasa pahit, asin, manis, pedas, semuanya menyatu. Bumbunya juga hanya garam, bawang merah, bawang putih, dan cabai yang dihaluskan, lalu ditumis dengan daun jeruk. Rasanya sedap banget. Apalagi, aku memang suka sayuran,” kata Jordhi.
Mama Siti bercerita, menu rumpu rampe sering kali disajikan ketika ada acara kumpul-kumpul, seperti kumpul keluarga besar, arisan, atau saat menyambut tahun baru. “Rumpu rampe berfungsi sebagai pelengkap makanan saat acara, disajikan dengan berbagai hidangan lain. Kami meyakini makanan ini juga berperan sebagai obat herbal yang dipercaya mencegah malaria.”
3. Cara masak simpel tapi tricky
Bagi La Ode, manok pansoh sangat unik dan sangat Indonesia, karena memasaknya harus dengan bambu. “Masakan ini sangat identik dengan bambu. Kalau tidak dimasak dengan bambu, misalnya dengan oven, dia tidak bisa lagi disebut manok pansoh. Ditambah lagi, aroma bambu bakar yang khas tak bisa digantikan oleh aroma lain,” kata La Ode, yang merasa sangat bangga bisa memasak makanan ini.
Namun, bagi penduduk urban mungkin agak sulit mereplika masakan ini, karena tidak mudah mendapatkan bambu. Ditambah lagi, bagi yang tidak terbiasa, membuat perapian dari kayu bakar bisa menjadi hal menantang. “Menjaga api tetap stabil juga perlu trick. Api harus terus ditiup agar tidak mati. Proses memasak seperti ini membuat kita jadi lebih menghargai nilai sebuah masakan. Ketika prosesnya sudah berhasil dilalui, hingga kemudian makanannya matang, nikmatnya jadi dua kali lipat. Rasanya mewah sekali,” kata La Ode, yang senang memasak di alam terbuka.
Sementara bagi Jordhi, tantangannya adalah mengurangi rasa getir daun dan bunga pepaya, tapi tidak sampai hilang sama sekali. “Kalau pahitnya benar-benar hilang, rasanya justru jadi kurang sedap. Trick saya adalah meremasnya dengan garam agar getahnya jauh berkurang. Setelah itu, di-blanch (rendam dalam air mendidih) selama tiga hingga lima menit."
Silvy dan Fifin juga berbagi tip. Menurut mereka, memasak daun kelor untuk uta kelo perlu benar-benar pas. Kalau terlalu matang, daunnya akan terasa pahit. “Ketika santan sudah mendidih, masukkan daun kelor hingga layu. Tidak perlu diaduk, karena malah bisa mengeluarkan rasa pahit,” kata Silvy.
4. Sehat tanpa penyedap
Masakan yang dibungkus daun, seperti daun jati, daun jagung, dan daun pisang, atau dimasak dengan bambu memberi aroma khas pada masakan, yang tak tergantikan oleh pembungkus makanan lain. Sehingga, makanan Masyarakat Adat tak memerlukan aroma sintetis untuk menggoda selera.
Begitu juga dengan penggunaan perasa alami. Silvy bercerita, warga di kampungnya kerap menggunakan daun kedondong untuk menambahkan rasa asam pada masakan. Fungsinya berbeda dari daun jeruk purut yang hanya sebagai penambah aroma, tapi tidak menambahkan rasa asam. Daun kedondong terasa segar, karena tak perlu melewati pemrosesan apa pun.
“Di samping itu, kuliner Masyarakat Adat cenderung jarang menggunakan minyak, apalagi dalam jumlah banyak. Misalnya, jika memasak dengan bambu, kita tidak perlu menggunakan tambahan minyak. Minyak yang digunakan adalah minyak alami dari bahan protein, misalnya ayam. Bumbu yang dibubuhkan pada ayam pun tidak perlu ditumis, cukup dicampurkan begitu saja. Air yang digunakan untuk memasak juga dari air bambu itu sendiri,” kata Silvy.
Memasak dengan cepat juga membuat kandungan vitamin tetap terjaga. Misalnya, memasak manok pansoh tak perlu waktu lama, karena ayamnya sudah dipotong kecil-kecil. Dengan begitu, sari alami ayam tidak hilang, tapi ayam tetap empuk dan lezat. Sementara daun kelor yang mampu memperbaiki kondisi gizi buruk di NTT juga hanya perlu dimasak sebentar saja.
Memasak manok pansoh (Dok. Istimewa)
5. Festival kuliner hingga kompetisi memasak
Fifin berpendapat, masakan-masakan komunitas adat merupakan warisan dari nenek moyang sejak zaman dahulu. Ia berharap masakan ini tidak berhenti sampai di generasi sekarang dan perlu dilestarikan.
Silvy melihat, selain melalui festival kuliner, maraknya reality show kompetisi memasak bisa menjadi kendaraan yang tepat untuk mempromosikan makanan komunitas adat. “Misalnya, peserta diminta membuat makanan dari daun kelor. Jangan melulu diminta membuat sesuatu dari bahan impor. Dengan begitu, peserta bisa bantu mempromosikan daun kelor, sekaligus mendorong mereka untuk menggali kembali identitas dirinya yang berasal dari daerah.”
Sependapat dengan Fifin, La Ode beranggapan bahwa kuliner Masyarakat Adat harus tetap ada, walaupun tidak disajikan dalam sebuah ritual adat. Ia berharap makanan tersebut lebih banyak diperjual-belikan di daerahnya sendiri, tanpa mengurangi unsur kulturalnya. “Dengan begitu, pengunjung yang mendatangi suatu daerah bisa tetap menikmatinya, meski tidak datang kala upacara tertentu. Sehingga, makanan itu jadi semakin populer, seperti halnya rendang.”
Bagi Jordhi yang mengakui bahwa generasinya merupakan generasi cepat saji, pameran makanan bisa menjadi ajang yang baik untuk memperkenalkan pengunjung pada warisan nusantara. “Penyelenggara bisa bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk Kemenparekraf, pakar kuliner terkemuka, dan influencers. Saat perkenalan awal itu, pengunjung bisa langsung menikmati makanan daerah yang belum pernah mereka cicipi. Setelah itu, makanan bisa dijual dengan lebih masif. Tapi, perlu diimbangi produksi dan distribusi yang bagus agar harga makanan itu tetap terjangkau.”
Silvy mengingatkan, makanan komunitas adat boleh saja dikomersialkan. Asalkan, pemilik pengetahuan akan kuliner tersebut, yaitu Masyarakat Adat, tidak dikesampingkan dan tetap mendapatkan benefit. “Ini kan pengetahuan mereka. Jangan sampai makanan kaya budaya seperti ini diklaim sebagai menu khas mereka oleh orang yang punya modal besar. Padahal, cara memasaknya sudah dimodifikasi mengikuti selera pasar, sehingga cita rasa aslinya tidak lagi terjaga.”