ERA.id - Bagi seorang 'karnivora rumahan', yang namanya daging sapi pastilah lezat, apapun jenisnya. Namun, pernahkah terpikir, kenapa peternak sapi lokal di Indonesia tidak mengembangkan sapi wagyu saja?
Bayangkan rasanya jika saat Idul Adha tiba-tiba ada seseorang yang mengantar satu kresek daging sapi wagyu hasil sembelihan di masjid dekat rumah.
Setelah ERA.id telisik lagi, salah satu alasan kenapa sapi wagyu tidak dikembangkan secara lokal adalah karena pola konsumsi lokal tidak membutuhkan daging dengan karakteristik daging wagyu.
Daging sapi jenis ini, yang biasanya diimpor dari Jepang atau Australia, dikenal memiliki serat lemak atau marbling yang tinggi.
Di Jepang sendiri ada banyak jenis hidangan yang memakai bahan daging setengah matang, yang cara memprosesnya dianggap paling cocok untuk menikmati Wagyu yang lumer di mulut. Misalnya, hidangan daging sukiyaki, teppenyaki, atau steak. Jenis hidangan ini yang membuat kebutuhan daging dengan tingkat serat lemak atau marbling tinggi senantiasa ada.
Jenis-jenis kualitas marbling daging sapi.
Sementara di Indonesia, kita bisa ambil contoh olahan daging rendang minang. Santapan lezat ini lebih membutuhkan daging yang tahan dimasak hingga berjam-jam. Hal ini, jika dilakukan tanpa keahlian teknik khusus, akan membuat daging ber-marbling tinggi kehilangan keistimewaan tekstur. Alhasil, harga mahalnya pun terbuang percuma.
Daging dengan kualitas marbling tinggi juga bukan hasil dari jenis sapi sembarangan. Kualitas marbling dihasilkan dari teknik persilangan sapi. Sapi Wagyu dihasilkan lewat teknik selective breeding dan teknik pemeliharaan khusus.
Di Indonesia sendiri ada jenis daging sapi dengan marbling tinggi dan harganya terjangkau. Daging tersebut adalah jenis meltique. Daing sapi ini adalah hasil injeksi lemak ke jaringan daging sapi non-wagyu. Hasilnya, kualitas dagingnya mendekati daging wagyu asli, namun, harganya lebih terjangkau.
Daging wagyu impor saat ini dijual dengan harga Rp400-800 ribu per kilogram.
Mengenai cita rasa hidangan daging sapi, semua jenis daging di atas sebenarnya punya kekhasan yang sama-sama lezat. Seperti ditulis oleh food blogger Bayu Amus, untuk daging sapi lokal, teknik masak yang paling cocok adalah pelayuan (aging) karena kebutuhan teknologinya tak setinggi meltique. Bila dilakukan dengan benar, teknik pelayuan daging sapi lokal bisa disandingan dengan daging kualitas impor.
Dari sisi rasa, meski lembut dan leleh di mulut, citarasa daging Wagyu sering lebih beraroma butter (mentega), sehingga citarasa dagingnya agak 'tenggelam'.
Sementara daging sapi lokal hasil pelayuan, selain empuk juga punya rasa daging yang khas. Konsentrasi rasa yang kuat juga lebih disukai oleh pemakan daging di Indonesia.