Belajar dari Kasus Ratna: Jangan Bohong ke Anak

| 04 Oct 2018 17:24
Belajar dari Kasus Ratna: Jangan Bohong ke Anak
Ratna Sarumpaet (Sumber: Instagram/@rsarumpaet)
Jakarta, era.id - Setelah otak-atik kepala semalaman merenungi kebohongan Ratna Sarumpaet soal luka lebam hasil pengeroyokan yang ternyata hasil operasi plastik, akhirnya kami menemukan hikmah yang bisa diambil dari seluruh kebohongan ini. Hikmahnya adalah jangan sekali-sekali berbohong kepada anak.

Iya, dalam pengakuan kemarin sore (3/10), Ratna blak-blakan soal kebohongan ini. Ratna bilang, kebohongan ini pertama kali ia sampaikan kepada keluarganya di rumah. Tujuannya, Ratna enggak ingin keluarganya tahu dia melakukan operasi plastik. Tapi, entah bagaimana bermula, kebohongan yang ia lakukan itu malah menyebar luas dan jadi pembodohan massal.

Ratna pantas menyesal, sebab kebohongan ini berbuntut sampai ke desakan kepadanya untuk mengundurkan diri dari posisi juru kampanye nasional (Jurkamnas) koalisi pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kemarin siang, Ratna sudah mengirim surat pengunduran dirinya, bahkan sebelum Prabowo memintanya mundur dalam konferensi pers malam harinya.

Selain dampak buruk yang menimpa dirinya sendiri, kebohongan Ratna ini turut memberi dampak buruk bagi keluarganya. Soal ini, kami menemukan sebuah studi yang bisa menggambarkan bagaimana kebiasaan mendidik anak dengan kebohongan dapat memberi dampak buruk terhadap hubungan orang tua dan anak-anaknya.

Studi ini diawali dengan pemaparan bahwa berbohong adalah kesalahan yang paling umum dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya. Secara umum, orang tua menjadikan kebohongan sebagai cara paling cepat untuk memperbaiki setiap situasi sulit yang dihadapi. Tapi, tentu saja, cara cepat belum tentu tepat.

Bukan apa-apa, studi ini juga menjelaskan bahwa setiap orang yang berbohong --termasuk orang tua-- akan terus-terusan membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang sebelumnya ia lakukan. Ya, hal ini jugalah yang terjadi kepada Ratna, bagaimana kebohongan kecil yang ia sampaikan kepada anak-anaknya bergulir jadi kebohongan-kebohongan yang lebih besar.

 

 

 

 

 

View this post on Instagram

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata siapa Ratna Sarumpaet pencipta hoaks terbaik?! .??? ? Ratna Sarumpaet mengaku telah merekayasa isu pengeroyokan yang sempat membuat anak-anak bangsa seakan mendadak bodoh dalam dua hari belakangan. Ratna mengaku salah dan menobatkan dirinya sebagai pencipta hoaks terbaik. ??? ? Hmm, apa iya Ratna pencipta hoaks terbaik? Buat kami, mengakui Ratna sebagai pencipta hoaks terbaik sama dengan mengamini bahwa masyarakat adalah sekumpulan orang bodoh yang enggak punya daya kritis. Padahal, kenyataannya Ratna enggak memenangi apapun. Wong dalam waktu satu hari netizen langsung berhasil mempereteli kebohongan yang dirangkai Ratna, kok. ??? ? Jadi, masih sepakat dengan logika yang coba dibuat Ratna, bahwa dia adalah pencipta hoaks terbaik? ??? ? Klik link di bio untuk narasi lengkapnya! ??? ? #ratnasarumpaet #hoax #hoaks #hoaxmembangun #antihoax #stophoax #riodewanto #atiqahhasiholan #meme #memes #recehkaninstagram #eramelawanhoaks #prabowosandi

A post shared by era.id (@eradotid) on

Kata ahli

Terkait kebiasaan berbohong dalam mendidik anak, pakar parenting dari Boston, Amerika Serikat (AS), Kate Roberts, lewat tulisan yang dipublikasikan Psychology Today menjelaskan, kebohongan orang tua kepada anak dapat membuat sang anak menderita. Meski studi ini enggak menjelaskan usia anak yang jadi responden penelitian, Roberts mengatakan, penderitaan itu akan dirasakan anak-anak korban pembohongan ketika sang anak mengetahui bahwa orang tua mereka telah berbohong.

Penjelasannya, setiap anak sejatinya akan mengikuti naluri ingin tahu untuk mencari kebenaran di sepanjang hidupnya. Nah, ketika pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapati ternyata bertolak belakang dengan apa yang diberitahukan orang tua mereka, keragu-raguan bakal timbul di dalam diri mereka, baik keraguan kepada orang tua yang jadi sumber kebohongan, ataupun keraguan terhadap diri mereka sendiri, yang mana itu lebih berbahaya secara perkembangan psikologis. "Anak tersebut akhirnya akan meragukan dirinya sendiri," tulis Roberts. 

Anak-anak yang sehat secara mental akan belajar memercayai rasa batin mereka tentang rasa benar dan salah pada usia muda, dan orang tua sangat berperan penting pada proses ini. Pada proses ini anak mulai mempelajari sebuah sumber informasi yang akurat dan dapat diandalkan, yang mampu mereka jadikan sumber dari sebuah kebenaran.

Psikoterapis sekaligus penulis, Kerry Leddy Malawista dalam tulisannya di Huffington Post turut menjelaskan fenomena ini. Menurut Kerry, ketika orang tua berbohong --bahkan untuk hal paling kecil sekalipun-- sejatinya orang tua sedang mengajarkan anak-anak mereka nilai yang salah, bahwa untuk mencapai sesuatu dalam hidup, mereka enggak bisa cuma mengandalkan prestasi, tapi juga perlu menambahkan bumbu-bumbu kebohongan.

Buat Kerry, hal ini tentu berbahaya. Studi Kerry dapat mengidentifikasi kebohongan yang dilakukan Ratna sebagai penanaman kebiasaan berbohong kepada anak sendiri. Maka, ketika berbohong dijadikan sebagai elemen utama dalam memperoleh pencapaian, di situlah seseorang tengah membangun generasi curang dan penuh kepalsuan.

Rekomendasi