Catatan Atlet Berhijab di Pertandingan Internasional

| 09 Oct 2018 16:09
Catatan Atlet Berhijab di Pertandingan Internasional
Pesilat Indonesia, Pramudya Yuristya, Lutfi Nurhasanah and Gina Tri Lestari mendapatkan medali emas Asian Games 2018. (Foto: www.asiangames2018.id)
Jakarta, era.id - Bagaimana rasanya apabila kita sudah berlatih keras, menghabiskan waktu siang dan malam datang ke tempat latihan, namun ketika hari yang dinanti tiba untuk bisa tampil dalam sebuah kejuaraan. Namun, ketika kaki hendak melangkah menuju tangga arena pentas, namun tiba-tiba tangga tersebut runtuh karena terbentur kepercayaan, dan peraturan. Kecewa mungkin satu-satunya jawaban bagi seseorang yang mengalami hal tersebut.

Judoka tuna netra, Miftahul Jannah, adalah orang yang baru saja mengalami kejadian tadi. Dia sudah berlatih selama 10 bulan untuk mempersiapkan diri pada pertandingan ini. Tapi, dia yang tampil di kelas 52 kg kategori low vision blind judo, gagal bertanding saat berhadapan dengan judoka Mongolia, Oyun Gantulga. 

Insiden itu muncul menjelang Miftah naik ke arena. Wasit meminta Miftah melucuti hijabnya karena dianggap sebagai penutup kepala yang dapat membahayakan dirinya. Aturan internasional sudah melarang hal tersebut. Tapi Miftah tetap bertahan dengan prinsip dan tak mau melepas hijab. Konsekuensi di diskualifikasi pun dia terima.

Miftah bukan satu-satunya orang yang mengalami kejadian tersebut. Amaiya Zafar, seorang petinju asal Oakdale, Minnesota juga pernah mengalami hal serupa.

Dia siap tampil dalam sebuah kejuaraan tinju Sugar Bert Tournament di Kissimmee, Florida. Sudah hampir dua tahun ia berlatih. Sayangnya, ketika sampai di lokasi pertandingan, federasi tinju Amerika Serikat (AS) menolak keikutsertaan Amaiya. Ia didiskualifikasi karena mengenakan hijab, pelapis berlengan panjang, dan legging melapisi kostum tarungnya.

Seperti dijelaskan Direktur Eksekutif Boxing Mike Martino, larangan tersebut muncul karena pertimbangan faktor keamanan. Selain itu, larangan juga datang dari Asosiasi Tinju Internasional (AIBA). Mereka menyebut, hijab dan pakaian tertutup dilarang dengan pertimbangan keamanan peserta.

Selain Miftah dan Amaiya, atlet basket profesional asal Indonesia, Raisa Aribatul Hamidah, pada 2016 pernah membuat petisi agar pemain basket boleh memakai hijab saat bertanding.

Dirangkum dari Rappler, Raisa menuturkan perjuangannya supaya atlet perempuan boleh menggunakan hijab ketika bertanding olahraga basket. 

"Tidaklah mudah untuk mempertahankan hijab sampai saat ini, meskipun di Indonesia adalah mayoritas Muslim. Adalah saya, perempuan pertama yang memakai jilbab saat bermain basket," tulis Raisa dalam petisinya.

Pada 2005 Raisa pernah mengikuti kejuaraan basket di Surabaya, Jawa Timur. Dalam penuturannya, pada saat itu timnya selalu mendapat Technical Foul karena kostumnya yang tidak wajar, tidak seragam dan dinilai tidak sesuai dengan peraturan.

 

Titik balik atlet hijab

Tidak semua kasus seperti Miftahul berujung kekecewaan. Atlet judo Arab Saudi, Wojdan Ali Seraj Abdulrahim Shaherkhani adalah contoh lain yang berhasil 'mendobrak' aturan larangan berhijab pada pentas kejuaraan olahraga.

Pada 2012, dia ditunjuk menjadi kontingen Kerajaan Arab di Olimpiade London. Pada saat itu, dirinya nyaris tidak dapat bertanding karena terbentur aturan yang tak membolehkan menggunakan penutup kepala --hijab--, karena potensi ancaman faktor keselamatan. 

Shaherkhani mendapat undangan khusus dari Komite Olimpiade Internasional (IOC), karena pada saat itu tidak ada satupun kompetisi judo yang digelar di Arab. 

Mendatangkan Shaherkhani bukan hal mudah. Ada beberapa syarat yang diajukan Komite Olahraga Arab ke IOC, untuk bisa mengikutsertakan warganya di Olimpiade tersebut.

Syarat yang diajukan itu diantaranya; selama di London, panitia harus memisahkan Shaherkhani dengan atlet pria. Selain itu, selama bertanding Shaherkhani juga diwajibkan memakai pakaian sopan sesuai dengan aturan Islam.

Namun, ada satu aturan yang sepertinya tidak bisa ditawar, yakni tidak diperbolehkan memakai jilbab seperti yang dikenakan wanita Arab. Kondisi yang semakin tidak menentu pada saat itu membuat ayah dari Shaherkhani berbicara langsung kepada panitia penyelenggara olimpiade, bahwa putrinya ingin mencetak sejarah baru sebagai atlet wanita asal Arab yang bisa bertanding di ajang kejuaraan dunia dengan pakaian yang sesuai dengan aturan Islam.

Hingga akhirnya pada 31 Juli 2012, IOC dan Federasi Judo Internasional akhirnya mengizinkan Shaherkani bertanding mengenakan jilbab. Meskipun demikian, demi keselamatan sang peserta, Shaherkhani harus mengubah desain hijab jadi lebih aman saat bertanding judo. 

Ketentuan dari desain hijab yang disepakati adalah penutup kepala tersebut harus ketat dari desain hijab pada umumnya. Sementara kain hijab tidak mengitari leher dan di bawah dagu. Sebab desain yang menutupi leher bisa menyebabkan atlet tercekik lawan saat bertanding.

Sampai akhirnya Shaherkani memulai laga perdana internasionalnya di babak penyisihan atau babak 32. Sayangnya pada pertandingan bersejarah itu, Shaherkhani keok melawan atlet judo asal Puerto Rico, Melissa Mojica dengan waktu singkat, selama 28 detik.

Rekomendasi