Sebuah situasi gawat darurat yang pasti tak diinginkan semua orang. Tapi enggak ada salahnya juga untuk untuk berhati-hati dan tahu prosedur yang harus dilakukan ketika kondisi tersebut terjadi.
Redaksi era.id diberi pengalaman merasakan jadi penumpang pesawat yang jatuh ke dalam air dan berusaha untuk menyelamatkan diri dari pesawat itu. Kondisi gawat darurat itu, kami pelajari dari simulasi yang dilakukan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto, Jakarta Selatan, Kamis (13/12) lalu.
Dalam simulasi Water Survival ini, ada tiga tahap penyelamatan diri yang harus saya pelajari. Yang pertama bagaimana saya harus selamat ketika pesawat harus jatuh secara terkontrol, semi terkontrol dan tidak terkontrol.
"Apapun yang terjadi ikuti instruksi pilot. Jangan lakukan sesuatu di luar instruksi," itulah kata-kata yang saya ingat dari instruktur keselamatan Lakespra, Agus Supriyadi dari Departemen Aero Fisiologi.
Ya, peringatan itu tak disepelekan begitu saja apalagi dalam kondisi pesawat yang telah jatuh di air. Salah-salah, bukannya kita akan selamat, malah akan menghambat proses evakuasi dan fatalnya bisa jadi korban.
Sebelum simulasi kecelakaan dilakukan, para instruktur telah memberikan pakaian pelampung dan helm keamanan kepada kami sebagai penumpang pesawat. Dalam simulasi ini pesawat akan dibuat jatuh secara terkontrol dan melakukan upaya pendaratan darurat di atas air atau dikenal sebagai ditching.
Setelah mendengarkan pengarahan dari Agus, saya bersama peserta lain dipersilakan menuju sebuah kolam. Kolam itu dalamnya sekitar 7 meter dan berbentuk huruf 'L'. Sisi samping kolam itu, ada crane yang terpasang dengan replika kabin pesawat lengkap dengan kursi penumpangnya.
Setiap penumpang didampingi satu instruktur yang memberi instruksi bagaimana caranya menyelamatkan diri di dalam air dan keluar dari pesawat baik itu melalui pintu darurat maupun jendela. Kebetulan saya mendapatkan tempat di sisi kanan dekat pintu darurat dan didampingi Sugeng sebagai instruktur saya.
Sebelum pesawat dijatuhkan ke dalam air, seluruh penumpang harus bersikap brace position di mana kedua tangan kita saling menyilang dan memegang erat bahu sembari menundukkan kepala dengan seat belt terpasang erat. Sugeng terus meyakinkan, saya agar tidak perlu takut dalam simulasi ini. Ini bukan perkara mudah loh, jujur ketika pesawat terangkat dan jatuh ke air saya sedikit takut saat itu.
"Brace posisition! ditching water impact," seru instruktur yang bertindak sebagai pilot.
Perlahan air mulai masuk ke dalam pesawat, Sugeng mengingatkan saya agar tak langsung mengambil nafas. Ambil nafas ketika posisi air sudah berada di bagian perut. Untuk penumpang yang ada di dekat pintu atau jendela darurat pun diharuskan siap untuk membuka jalan keluar darurat itu dan keluar terlebih dahulu.
"Kalau sudah terbuka, pegang referensi, nah ini baru buka seat belt-nya, jangan karena panik seat belt-nya duluan yang dibuka, setelah dibuka baru keluar dengan pegang referensi tadi," ujar Sugeng.
Meskipun menegangkan, namun saya berhasil keluar dari pesawat yang terendam tersebut dan kembali ke permukaan air.
Simulasi kedua pun dijalankan, yaitu jatuh semi terkontrol. Kali ini jatuh pesawat masih sama seperti sebelumnya, namun yang berbeda adalah jendela dan pintu pesawat ditutup. Sehingga para penumpang harus membukanya terlebih dahulu sebelum keluar dari pesawat.
Cukup mudah dilakukan sepertinya, tapi beda ceritanya jika air sudah masuk ke badan pesawat. Perasaan takut mulai muncul, ketika air mulai menutupi wajah saya. Membuka tuas dan mendorong pintu pesawat tak semudah yang saya pikirkan sebelumnya.
Tekanan air yang cukup kuat membuat pintu semakin berat dan sulit untuk didorong. Saya hampir panik, karena tak kuat menahan nafas lebih lama lagi. Namun Sugeng terus mengatakan bahwa kunci utama dari menyelamatkan diri dalam kondisi darurat adalah jangan panik. Beruntung saya tuas pintu darurat langsung terbuka dan saya berhasil menyelamatkan diri dan muncul ke permukaan.
Simulasi kedua selesai, saya dihadapkan pada simulasi ketiga yang lebih menegangkan, jatuh tidak terkontrol. Pesawat dijatuhkan ke dalam air kemudian diputar 180 derajat. Sehingga para penumpang tenggelam dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Namun, jendela dan pintu tidak ditutup.
Jujur, ada perasaan cemas saat badan pesawat sudah bergerak turun dan panik ketika air masuk ke dalam pesawat dan tiba-tiba badan pesawat diputar. Jantung pun terasa dag dig dug, namun saya harus tetap tenang, karena prosedur penyelamatnya pun masih sama.
Kali ini saya berhasil keluar dan berenang dengan cepat ke permukaan. Hanya saja, air yang masuk melalui hidung membuat kepala terasa berat dan pusing. Sungguhan rasanya sakit sekali, saya sampai kebingungan untuk berenang ke pinggir kolam.
"Ini baru simulasi, bagaimana dengan kejadian yang nyata?" pertanyaan yang terlontar dari orang-orang yang mengikuti simulasi ini.
Sugeng kemudian bilang, latihan ini berguna jika pesawat mendarat dengan aman di air bukan seperti kasus Lion Air JT610 yang baru terjadi beberapa waktu. Menurutnya, latihan ini juga penting buat orang-orang yang sering berpergian ataupun para kru kabin pesawat komersial agar tahu tahapan-tahapan water survival.