Ketika Silicon Valley Mengkritik Pemerintahan Trump

| 19 Jun 2018 15:15
Ketika Silicon Valley Mengkritik Pemerintahan Trump
Presdien AS Donald Trump (Twitter @RealDonaldTrump)
Washington, era.id - "Bejat, menyedihkan dan imoral!" Perkataan itu dilontarkan Airbnb--perusahaan internet berbasis penyewaan hostel dan tempat tinggal--setelah pemerintahan Presiden Donald Trump membuat kebijakan untuk memisahkan keluarga yang mencari suaka ketika melintasi perbatasan Amerika-Meksiko, Senin (18/6/2018). 

Airbnb bukanlah satu-satunya perusahaan yang mengkritisi Trump. Microsoft--yang sebelum pemerintahan Trump telah bekerja dengan lembaga pengelola imigrasi Amerika Serikat, Immigration and Customs Enforcement (ICE)--kini dikritisi karena ICE telah menerapkan kebijakan pemerintahan Trump yang ketat terkait perbatasan. 

"Sebagai sebuah perusahaan, Microsoft kecewa dengan pemisahan anak-anak dari keluarga mereka di perbatasan. Kami mendesak Trump untuk mengubah kebijakannya, dan memastikan anak-anak tidak lagi terpisah dari keluarga mereka," tambahnya.

Pada dasarnya, perkembangan industri teknologi menjadi pencapaian terbaik Amerika Serikat, terutama lewat pesatnya perkembangan teknologi di pusat start-up dunia, Silicon Valley. Berbagai pemimpin dunia seperti Perdana Menteri India, Narendra Modi hingga Presiden China, Xi Jinping selalu rutin mengunjungi kantor Google, Apple ataupun Intel ketika mereka melakukan kunjungan luar negeri ke AS. 

Selain itu, saat masih menjabat sebagai presiden AS, Barack Obama juga sering menjadwalkan pertemuan dengan para pemimpin perusahaan, ataupun sekedar untuk makan malam bersama. 

Sadar maupun tidak, perkembangan pusat industri digital itu telah menjadi komoditas politik, terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan keamanan internet dan kebijakan perpajakan. Akan tetapi, kini para CEO perusahaan itu melangkah jauh ke depan untuk membicarakan hal-hal yang sifatnya telah masuk pada ranah sosial politik. Beberapa pemimpin perusahaan berani mengkritisi kebijakan imigrasi, hak dasar wanita, minoritas dan komunitas LGBT. 

Akan tetapi peran Silicon Valley sebagai pusat kekuatan politik berbanding terbalik dengan arah politik yang saat ini dibawa Trump, dan dari sanalah kritik tiada henti dilancarkan kepada pemerintahan sah Amerika Serikat itu. Pada kebijakan kontroversial pertamanya, Trump mengeluarkan larangan perjalanan menuju Amerika Serikat bagi negara-negara yang dianggap sebagai sarang Islam radikal.

"Langkah itu membuat lawan  politiknya marah, dan protes terjadi di bandara-bandara besar, pada akhirnya larangan itu dihentikan oleh pengadilan AS," dilansir dari Cnetnews. Insiden itu lantas membuat banyak CEO perusahaan internet seperti Apple, Google, Facebook, Intel, hingga Expedia mendorong Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakan itu.

Jatuhnya kepercayaan elite Silicon Valley kepada pemerintahan Trump semakin menjadi-jadi saat kericuhan yang terjadi antara kelompok liberal malawan kelompok Neo Nazi di Charlottesville, Virginia, (11/7/2017). Provokasi golongan kanan yang mengkampanyekan slogan anti-Semit berakhir dengan unjuk rasa mematikan, satu orang terbunuh akibat ditabrak oleh pengunjung ras Neo Nazi. Trump menyatakan, kedua belah pihak salah dan mengatakan ada beberapa orang baik di antara golongan kanan itu. Tidak terima, beberapa perusahaan internet seperti GoDaddy dan Googe membatalkan layanan website kepada beberapa situs sayap kanan, seperti The Daily Stormer. 

Perbedaan pandangan politik antara elite Silicon Valley dengan pemerintah Trump adalah hal yang wajar. Trump adalah presiden yang dimenangkan oleh Partai Republik. Di mana, Partai Republik memiliki arah politik yang lebih konservatif dengan kebijakan-kebijakan nyata seperti anti imigran dan rasisme.

Baca Juga : Trump Tidak Mau AS Jadi Kamp untuk Imigran

Akan tetapi dalam bidang ekonomi, Silicon Valley telah menemukan banyak hal yang cocok terhadap kepemimpinan Trump, terutama dalam hal administrasi. Bahkan pada September 2017, pemerintah menganggarkan 500 juta dolar AS untuk memodernisasi infrastruktur digital pemerintah. Amazon, Microsoft dan Google adalah beberapa perusahana yang mengincar proyek ini. 

 

Selain itu, perusahaan teknologi berusaha untuk melobi pemerintah untuk mendapatkan keuntungan dari rancangan pembuatan formasi pajak perusahaan yang saat ini digarap oleh pemerintahan Trump. Tak tanggung-tanggung, dilansir dari New York Times, Apple mampu menghemat lebih dari 43 miliar dolar dari pembayaran pajak rutin sekaligus menyatakan berkontribusi sebesari 350 miliar dolar bagi ekonomi AS selama lima tahun terakhir.

Oleh karena itu, tidak semua pandangan politik pemerintahan Trump berseberangan dengan arah politik yang dipegang oleh CEO perusahaan teknologi di Silicon Valley. Akan tetapi, dengan kekuatan sosial dan ekonomi yang masif, Silicon Valley tetap memainkan peran dalam menjaga stabilitas politik AS, di masa pemerintahan Presiden Trump.

Tags :
Rekomendasi