ERA.id - Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Praktis, ketetapan ini hampir pasti mengandaskan langkah Ketua Umum PSI sekaligus anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk mendaftar di Pilkada Jawa Tengah, sebab kemarin dia didorong untuk mendampingi bakal calon gubernur Ahmad Luthfi yang disokong Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Kaesang sendiri sebelumnya dianggap bisa maju menjadi calon kepala daerah meski usianya baru 29 tahun dengan dalih akan berulang tahun ke-30 (usia minimum peserta Pilkada Provinsi) pada 25 Desember 2024 seusai pencoblosan pilkada. Itu dilandasi keputusan Mahkamah Agung.
Kini, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
"Sebagai penyelenggara, KPU menetapkan batas usia minimum calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sesuai dengan batas usia minimum yang diatur dalam undang-undang. Berkenaan dengan ini, penting bagi Mahkamah menegaskan, titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan, yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah," ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Pada perkara ini, para pemohon, yakni A. Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang keduanya merupakan mahasiswa, meminta MK menambahkan frasa "terhitung sejak penetapan pasangan calon" ke dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur syarat usia minimum calon kepala daerah.
Saldi menjelaskan norma pasal diuji memang tidak mencantumkan secara eksplisit ihwal frasa "terhitung sejak penetapan pasangan calon". Namun, apabila ditelisik berdasarkan pendekatan sistematis, peraturan batasan usia minimum untuk dapat diajukan sebagai calon kepala daerah (cakada) selalu ditempatkan dalam bab yang mengatur mengenai persyaratan calon.
Pendekatan sistematis tersebut juga dapat dibaca dan dipahami dalam konteks tahapan pilkada. Dalam hal ini, MK menyatakan bahwa tahapan pendaftaran, penelitian persyaratan calon, serta penetapan calon kepala daerah, dan wakil kepala daerah berada dalam satu kelindan.
Karena berada dalam satu kelindan, maka semua yang menyangkut persyaratan harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon. Artinya, menurut MK, penelitian keterpenuhan persyaratan calon kepala daerah harus dilakukan sebelum tahapan penetapan pasangan calon.
"Dalam hal ini, semua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 10 Tahun 2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum penyelenggara, in casu KPU, menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah," ujar Saldi.
Selain itu, MK juga mengatakan bahwa fakta empirik membuktikan penentuan keterpenuhan persyaratan calon kepala daerah selama ini dihitung atau ditentukan pada tahapan penetapan pasangan calon.
"Dalam hal ini, misalnya, sejak pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diselenggarakan serentak terhitung mulai tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020, titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan calon selalu dilakukan pada tahapan penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” ujar Saldi.
Selain itu, MK juga menyatakan keterpenuhan syarat calon anggota legislatif, DPR, DPD, DPRD, maupun syarat calon presiden dan wakil presiden juga ditentukan ketika penetapan pasangan calon.
"Artinya, segala persyaratan yang harus dipenuhi pada tahapan pencalonan harus tuntas ketika ditetapkan sebagai calon dan harus selesai sebelum penyelenggaraan tahapan pemilihan berikutnya," imbuh Saldi.
Lebih lanjut, MK memberi ultimatum kepada KPU untuk mengikuti pertimbangan MK dalam putusan ini.
"Jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," kata Saldi.
Di sisi lain, karena menurut Mahkamah norma pasal yang diuji ini telah secara jelas dan terang mengatur titik atau batas penentuan syarat calon kepala daerah dilakukan pada penetapan pasangan calon, maka tidak perlu lagi diberikan tambahan frasa seperti yang dimohonkan para pemohon.
"Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari (dalam bahasa Minangkabau), cheto welo-welo (dalam bahasa Jawa), sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," kata Saldi.
Penambahan frasa seperti yang dinginkan para pemohon justru akan menjadikan norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada berbeda sendiri atau anomali di antara semua norma dalam lingkup persyaratan calon kepala daerah. Oleh karena itu, MK menyatakan seluruh dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. "Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
Pertimbangan hukum tersebut juga dijadikan landasan oleh MK untuk memutus perkara nomor 41/PUU-XXII/2024, 88/PUU-XXII/2024, 89/PUU-XXII/2024, 90/PUU-XXII/2024, dan 99/PUU-XXII/2024. Seluruh perkara terkait syarat usia calon kepala daerah itu turut dinyatakan ditolak.