ERA.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada, Donald Sihombing, Rabu (18/9). Dia ditahan setelah diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan rasuah pengadaan lahan di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.
Selain Donald, KPK juga menahan empat tersangka lainnya dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory C Pinontoa; Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Indra S Arharrys; Komisaris PT Totalindo Eka Persada, Saut Irianto Rajagukguk; dan Direktur Keuangan PT Totalindo Eka Persada, Eko Wardoyo.
"KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada para tersangka untuk 20 hari pertama," kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).
Asep mengatakan, penahanan kelima tersangka terhitung sejak tanggal 18 September 2024 sampai dengan 7 Oktober 2024. Mereka bakal mendekam di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih.
Asep menjelaskan, PT Totalindo Eka Persada merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan tanah kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya untuk dijadikan sebagai bank tanah atau land bank. Lahan seluas total 12,3 hektare di Rorotan dibeli BUMD dari PT Totalindo Eka Persada senilai Rp371,5 miliar pada 2019 lalu.
Padahal, tanah itu sebelumnya dibeli PT Totalindo dari PT Nusa Kirana Real Estate atau PT NKRE dengan nilai yang jauh lebih murah. Lahan seluas sekitar 11,7 hektare dibeli PT Totalindo Eka Persada dari PT NKRE seharga Rp950 ribu per meter persegi yang diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT Totalindo Eka Persada dengan total nilai transaksi mencapai Rp117 miliar.
Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp223,8 miliar lantaran penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada 2019-2021.
"Nilai kerugian negara atau daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT Totalindo Eka Persada dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya sebesar Rp371,5 miliar dikurangi harga transaksi riil PT Totalindo Eka Persada dengan pemilik tanah awal, PT Nusa Kirana Real Estate setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB dan biaya notaris sebesar total Rp 147,7 miliar," jelas Asep.
Selain penggelembungan atau mark up harga, Asep mengungkapkan, terjadi beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan tanah di Rorotan. Diantaranya, Yoory mengarahkan agar tidak perlu menunjuk kantor jasa penilai publik (KJPP) independen untuk menilai harga tanah. Kemudian, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT Totalindo Eka Persada.
Tak sampai di situ, pihak Totalindo Eka Persada juga mengetahui enam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT Totalindo.
Berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan lahan di Rorotan itu diduga lantaran Yoory menerima fasilitas dari PT Totalindo Eka Persada. KPK menduga, Yoory menerima valas dalam pecahan mata uang dolar Singapura senilai Rp3 miliar. Selain itu, Yoory juga diduga mendapatkan kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.
"Pembelian aset Saudara YCP berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi Saudara EKW dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut," ungkap Asep.
Atas perbuatannya, kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.