ERA.id - Sejumlah peneliti Indonesia saat ini tengah berupaya di bawah komando Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/BRIN untuk menciptakan vaksin COVID-19 secara mandiri. Proyek bernama vaksin Merah Putih ini adalah "solusi jangka panjang" yang menggenapi vaksin impor yang ada di Indonesia, contohnya vaksin Sinovac.
Dipimpin oleh Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, tim penelitian yang berisi para pakar asal Indonesia ini sedang berproses menciptakan benih vaksin dengan teknik rekombinan. Teknik ini berbeda dengan yang dipakai dalam sejumlah vaksin, contohnya vaksin buatan Sinovac Biotech Ltd. yang saat ini sedang diuji oleh Bio Farma di Bandung.
Vaksin Sinovac mennggunakan virus korona utuh yang diisolasi di China, lalu dimatikan. Kehilangan kemampuannya untuk menulari penyakit, ia lalu dimurnikan dan dipakai sebagai vaksin. Teknik ini dinamai model inactivated vaccine dan dipakai dalam vaksin polio (IPV), pertusis, rabies dan hepatitis A.
Sementara itu, vaksin Merah Putih menggunakan dua subunit penting saja dalam virus SARS-CoV-2 yang mengakibatkan COVID-19. "Teknologinya adalah teknologi protein rekombinen," jelas Direktur LBM Eijkman, Amin Soebandrio pada ERA.id.
Kedua bagian itu adalah bagian protein spike (S) dan nucleocapsid (N). Kedua subunit ini lalu digabungkan dengan "wadah" berupa sel mamalia. Setelah digabung, kesemuanya ini akan menjadi vaksin yang memicu kekebalan tubuh terhadap virus korona.
Selain berbeda teknik penciptaan, jelas Soebandrio, virus yang dipakai di vaksin Merah Putih berbeda dengan yang dikembangkan Sinovac.
"Mereka menggunakan virus yang diisolasi di China," jelas Soebandrio tentang vaksin Sinovac. "Yang di Indonesia [dikembangkan] berdasarkan virus yang diisolasi di Indonesia."
Perkembangan riset vaksin Merah Putih saat ini mencapati 40 persen dari keseluruhan. Dalam waktu 2-3 bulan ke depan, vaksin ini diharapkan akan masuk ke tahap pra-klinis yaitu pengujian pada hewan. LBM Eijkman sendiri diberi waktu 12 bulan untuk menghasilkan benih vaksin.
"Berarti, sekitar Februari atau Maret tahun depan, kami harus memberikan bibit vaksin itu ke Bio Farma. Setelah itu Bio Farma akan melanjutkan ke fase (uji klinis) 1,2, dan 3," jelas Soebandrio.
Pada ERA.id, Soebandrio juga mengonfirmasi bahwa uji klinis vaksin oleh Bio Farma pada pertengahan tahun 2021 tak berarti bahwa vaksin sudah siap pakai saat itu.
"Belum. Itu masih uji klinis 1 atau 2," ucapnya.
Vaksin Merah Putih rencananya baru akan siap edar di sekitar tahun 2022, seperti disampaikan Direktur Utama PT Bio Farma, Honesti Basyir, lewat pernyataan tertulis.
Menyoal kesiapan bahan baku benih vaksin, Soebandrio mengakui bahwa sempat terjadi kendala pengadaan alat dan reagen karena semuanya harus impor. Akibatnya, terjadi keterlambatan.
"Yang biasanya dua minggu bisa diperoleh, ini bisa memakan waktu 6-8 minggu." kata Soebandrio. "Tapi secara teknis nilainya tidak ada masalah."
Beredarnya informasi mengenai mutasi virus SARS-CoV-2 juga sempat dikhawatirkan sejumlah pihak. Alasannya, mutasi pada bagian spike, yang diberi kode D614G, disebut oleh Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Noor Hisyam membuat penyakit korona jadi 10 kali lebih menular, meski dugaan ini telah dibantah oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Saat ini, peneliti telah menemukan setidaknya 24 whole genome sequence yang beredar di Indonesia. Dari semuanya itu, 9 sekuens genom mengandung mutasi D614G. Namun, mengenai hal terakhir ini bukanlah masalah berarti dalam pengembangan vaksin di Indonesia.
"Pengaruh ini tidak akan mengganggu pengembangan vaksin karena tidak menyebabkan perubahan struktur maupun fungsi virus," kata Bambang Brodjonegoro, Menristek/BRIM dalam konferensi pers, Rabu (2/9/2020).
Vaksin Merah Putih akan menjadi tumpuan jangka panjang Indonesia dalam menyediakan stok vaksin COVID-19. Dengan populasi penduduk 260 juta manusia, Indonesia bakal memerlukan lebih dari 300 juta ampul vaksin COVID-19, meningat sejumlah riset menunjukkan bahwa tiap orang umumnya membutuhkan dua ampul atau dosis vaksin COVID-19.
Menteri Brodjonegoro mengatakan bahwa Bio Farma pada tahun 2021 bakal bisa memproduksi 250 juta ampul vaksin. Konsorsium nasional juga akan merangkul perusahaan swasta yang saat ini sedang mengajukan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendapatkan izin produksi vaksin sesuai kebutuhan dalam negeri.