Adaptasi Kebiasaan Baru VS Rekor Baru Angka COVID-19 di Indonesia

| 04 Sep 2020 12:39
Adaptasi Kebiasaan Baru VS Rekor Baru Angka COVID-19 di Indonesia
Ilustrasi (Pixabay)

ERA.id - Enam bulan pandemi COVID-19 di Indonesia, nyatanya pemerintah belum mampu mengendalikan kurva penularan COVID-19. Hal ini terlihat dari laju penambahan kasus positif baru yang masih bersifat fluktuasi.

Meskipun sudah berkali-kali menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah, pemerintah mengakui beberapa pekan terakhir ini terlihat peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan. 

"Apa artinya ini semuanya? Ini semua artinya  bahwa kita sebenarnya belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten, secara nasional," tegas Juru Bicara Penanganan Satgas Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito saat jumpa pers perkembangan COVID-19 di Kantor Presiden, Kamis (3/9).

Meski masih dalam masa pandemi COVID-19 dan PSBB, pemerintah memberanikan diri membuka kembali sektor usaha, perkantoran dan tempat wisata. Pembukaan beberapa sektor tersebut dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi negara yang terpuruk karena terdampak pandemi.

Presiden Joko Widodo (Dok. BPMI

Presiden Joko Widodo dalam pidato resminya di Istana Merdeka pada 15 Mei 2020 bilang, kehidupan Kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. "Itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai New Normal atau tatanan kehidupan baru," katanya.

Pada masa pandemi masyarakat Indonesia diharuskan hidup dengan tatanan hidup baru, yang dapat ‘berdamai’ dengan COVID-19. Adapun yang dimaksud dengan New Normal adalah suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh masyarakat dan semua institusi yang ada di wilayah tersebut untuk melakukan pola harian atau pola kerja atau pola hidup baru yang berbeda dengan sebelumnya. Bila hal ini tidak dilakukan, akan terjadi risiko penularan.

Pemerintah pun memperkenalkan era new normal sebagai kebiasaan baru yang mulai harus diterapkan. New normal itu ialah kebiasaan mematuhi protokol kesehatan, seperti rajin mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak.

Akan tetapi, di balik bergeliatnya aktivitas masyarakat di era normal baru, jumlah kasus COVID-19 justru meningkat. Terlihat dari rata-rata kasus baru selama dari penerapan Adaptasi Kebiasaan Baru atau PSBB transisi pada 8 Juni hingga hari ini.

Pada 8 Juni rata-ratanya adalah 728 kasus. Sementara pada 21 Agustus rata-ratanya 2.041. Bahkan, per Kamis (3/9), tambahan kasus harian memecahkan rekor baru dengan 3.622 orang, membuat total kasus menjadi 184.268 orang. Penambahan terbanyak dari DKI Jakarta dengan 1.359 orang. 

Selain itu, tingkat kepositifan atau positivity rate COVID-19 Indonesia terus mengalami peningkatan selama tiga bulan ke belakang. Pada Juni sebesar 11,71 persen, meningkat menjadi 14,29 persen pada Juli, lalu menjadi 15,43 persen pada Agustus. Wiku menyatakan, positivity rate tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dari standar organisasi kehesatan dunia (WHO), yakni 5 persen. “Tingkat positif COVID-19 Indonesia sempat mencapai titik maksimum sebesar 25,25 persen pada 30 Agustus,” katanya, Rabu (2/9).

Dok. BNPB

'Rem' dan 'Gas'

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkenalkan analogi rem dan gas sebagai gambaran penanganan dampak COVID-19 di sektor ekonomi maupun kesehatan harus seimbang. Jokowi mengarahkan para kepala daerah untuk melepas gas dengan menggenjot sektor ekonomi agar perekonomian daerah tidak anjlok. Namun, bila daerahnya masuk zona merah, maka rem harus diinjak dengan menerapkan PSBB untuk mengendalikan penyebaran COVID-19.

Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengaku pemerintah sangat memantau perkembangan penyebaran virus korona di Indonesia yang belakangan melonjak. Doni juga mengingatkan agar kepala daerah bisa memainkan 'rem dan gas' seperti analogi Presiden Joko Widodo.

Doni mengatakan, jika suatu daerah sudah masuk zona merah, maka kepala daerah harus langsung menginjak 'rem'. Sebaliknya, jika daerah tersebut berubah ke zona yang lebih aman, maka bisa menambah 'gas'. Adapun yang dimaksud dengan 'rem dan gas' adalah menyeimbangkan antara aspek kesehatan dan ekonomi di masa pandemi COVID-19.

"Kalau zona merah maka 'rem' lah yang ditekan, ketika daerah sudah berkurang kasusnya maka 'gas' bisa ditambah, di setiap daerah harus selalu memperhatikan perkembangan terjadi," ujar Doni dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/9/2020).

Selain mengingatkan para kepala daerah untuk memantau perkembangan penyebaran COVID-19, Doni juga menekankan agar para kepala daerah memperhatikan ketersediaan rumah sakit yang semakin berkurang. Doni meminta kepala daerah memperhatikan hal ini agar tidak membuat kekhawatiran di masyarakat.

"Setiap pemimpin daerah harus mewaspadai agar tidak menimbulkan kekhawatiran masyarakat tentang tersedia rumah sakit," kata Doni.

Jadi apa ini saatnya 'rem' diinjak pak Jokowi?

Rekomendasi