ERA.id - Entah dari siapa hukuman dijemur di bawah matahari tercetus dan dijadikan sebagai pilihan efektif untuk membuat jera para anak yang melanggar aturan di sekolah tertentu. Hukuman ini, sungguh akrab dengan anak 90an.
Hukuman dijemur yang sarat nuansa militer ini, entah pula dari mana mulanya. Tak ada jejak yang bisa diketahui lebih jauh tentang itu. Yang ada, hukuman ini muncul tanpa pernah mau dikulik asalnya.
Keakraban anak 90-an dengan hukuman ini bisa diingat, saat kita terlambat masuk sekolah atau tidak mengikuti upacara pada hari Senin. Biasanya, yang tidak ikut upacara itu, lantas dijemur dengan hormat bendera beberapa menit di bawah sinar matahari.
Hukuman dijemur di bawah sinar matahari ini, bukan cuma terjadi di Indonesia. Di India, hukuman ini juga dijadikan "cambuk" agar para anak tertib dengan aturan dan patuh dengan perintah guru.
Hasilnya, di India, seorang anak perempuan mesti meregang nyawa, setelah sebelumnya, hidungnya mengeluarkan darah di bawah sinar matahari. Kejadian itu tercatat pada April 2009 silam.
Nama anak itu adalah Shanno Khan. Siswa SD yang malang tersebut dijemur selama berjam-jam di bawah sinar matahari yang terik di halaman sekolahnya. Setelah berjam-jam terpanggang, hidung Khan mulai mengeluarkan darah. Ia pingsan.
Khan langsung dilarikan ke rumah sakit. Namun kondisinya terus memburuk. Dia koma. Khan kemudian meninggal tak lama setelah kejadian itu.
Itu di India, di Indonesia ada juga kasus serupa. Nama siswa malang itu, Fanli. Ia sekolah di SMP Mapanget, Manado, Sulawesi Utara (Sulut). Fanli meninggal setelah dijemur dan disuruh berlari keliling lapangan karena terlambat masuk sekolah.
Guru yang menghukumnya itu, setelah tahu Fanli memburuk kondisinya dan meninggal, lantas syok dan masuk rumah sakit. Hal itu diakui pihak Polres Manado.
Sekadar diketahui, Fanli dihukum lari bersama 5 siswa lainnya --yang terlambat masuk-- mengelilingi halaman sekolah pada Oktober 2019 silam. Saat itu Fanli tiba di sekolah pukul 07.15 Wita.
Karena terlambat, para siswa, termasuk Fanli, dijemur di halaman sekolah selama 15 menit. Setelah itu, mereka diminta guru berlari mengelilingi halaman sekolah sebanyak 20 kali.
"Namun yang bersangkutan saat memasuki putaran keempat, jatuh tersungkur," kata Benny. Fanli dilarikan ke RS Auri. Namun saat dirujuk ke RS Malalayang Manado, Fanli sudah meninggal.
Setelah kejadian itu, Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengkritik pernyataan pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Manado soal kasus Fanli.
"Pejabat tersebut menyatakan pihaknya akan memberikan pendampingan kepada semua, baik oknum guru maupun sekolah," ujarnya, 2019 silam.
Pilihan sikap pejabat Disdik itu tidak sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal tersebut menyatakan, pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan pelindungan hukum kepada guru ketika menjadi korban, bukan pelaku pidana.
Retno lalu mendesak Disdik Kota Manado sebab seharusnya memeriksa pihak sekolah dan menonaktifkan oknum guru yang diduga sebagai penyebab korban meninggal selama proses penyelidikan oleh polisi.
"Hal itu untuk menimbulkan efek jera dan terapi kejut bagi sekolah lain yang mungkin juga masih menerapkan hukuman fisik kepada siswanya," tuturnya. Sampai di sini, masih ada yang berani melakukannya secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi?