Gerindra: UU Cipta Kerja 'Tampung' Perusahaan Asing dan Investor 'Tak Waras'

| 13 Oct 2020 22:02
Gerindra: UU Cipta Kerja 'Tampung' Perusahaan Asing dan Investor 'Tak Waras'
Desmond J Mahesa (Dok. Instagram desmondjunaidimahesa)

ERA.id - Pemerintah dan DPR telah sepakat mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada sidang Paripurna DPR pada 5 Okober lalu. Pasca pengesahan itu, gelombang protes terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ribuan buruh dan mahasiswa tergabung dalam satu aksi gerakan massa yang menuntut Presiden Joko Widodo untuk membatalkan UU tersebut. 

Namun, Presiden Jokowi enggan mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Jokowi justru meminta kepada semua pihak yang masih kurang puas dan tidak berkenan dengan adanya UU itu untuk mengajukan gugatan materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi. 

Namun, sebetulnya apa tujuan daripada pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja itu dalam waktu yang singkat? Klaim pemerintah bahwa UU Cipta Kerja sebagai solusi untuk Indonesia dapat memacu perbaikan ekonomi akibat krisis dan pandemi COVID-19. 

Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa menilai UU Omnibus Law ini bertujuan untuk menampung perusahaan asing masuk ke Indonesia. Namun tidak serta merta investasi dari asing itu mendatangkan insentif bagi Indonesia. 

Menurut Desmond, justru investasi ini akan berujung pada kerugian besar apabila pemerintah tidak memiliki strategi jitu dalam menghadapi investor asing tersebut.

"Padahal kalau yang diundang itu adalah investor yang 'waras', maka yang dibutuhkan adalah stabilitas politik, pemerintahan yang transparan dan bersih dari praktik pungli dan korupsi, serta tenaga kerja yang produktif dan terampil. Tidak masalah jika mereka harus membayar sedikit lebih mahal untuk masuk ke sini," ujar Desmond dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/10/2020).

Ia menambahkan karena hal itu tidak bisa diwujudkan maka yang dilakukan adalah jalan pintas melalui (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang memberikan karpet merah bagi investor. Tapi bukan investor waras melainkan investor bermasalah yang bakal merugikan bangsa Indonesia dalam jangka panjangnya. 

"Apakah ini yang memang dikehendaki oleh pemerintah yang sekarang berkuasa?" imbuhnya.

Mengapa demikian perusahaan yang dimaksud tersebut tidak waras?

Desmond menceritakan mulanya pada awal tahun 80-an, Amerika mengalami dampak daripada maraknya limbah industri, polusi, dan kerusakan lingkungan bahkan penyakit kanker yang mulai akrab dengan rakyat Amerika. 

Hal itu akibat daripada aktivitas pabrik-pabrik yang telah melampaui batas produksi sehingga mencemari ekosistem yang ada. Kemudian, pemerintah AS berinisiatif untuk memindahkan lokasi pabrik-pabrik tersebut ke China. China pun dengan senang hati menerima investor dari Amerika tapi tidak dengan serta merta begitu saja. China memiliki tujuan yaitu menguasai teknologi mutakhir baik software dan hardware maupun barang yang berkualitas super hingga abal. Setelah menguasai itu semua, China dengan insiatif meminta pabrik-pabrik itu pindah dari negaranya.

"Pabrik-pabrik 'buangan' inilah yang coba diperebutkan India, Vietnam, Indonesia lewat Omnibus Law-nya, termasuk negara-negara yang sedang putus asa lainnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang memperebutkan peluang itu membuka dirinya lebar-lebar tanpa memikirkan resiko besar daripada dampak negatifnya. Di sini investor bermasalah itu diberikan karpet merah melalui Omnibuslaw Cipta kerja karena kemudahan-kemudahan yang bakal mereka terima," jelas Wakil Ketua Komisi III DPR ini. 

Desmond pun pesimis pemerintah tidak dapat melakukan ambil alih teknologi dari proses produksi pabrik-pabrik asing yang ada di Indonesia. Sebab, China tidak hanya mentransfer tenaga ahlinya semata, tapi juga termasuk tenaga-tenaga kasarnya. Sehingga proses ambil alih teknologi sulit dilakukan. 

"Kalau China dahulu mengundang investor luar dari Amerika karena punya tujuan jelas untuk alih teknologi bagi warganegaranya, apakah Indonesia dengan Omnibus Law-nya akan mempunyai agenda yang sama?. Rasanya ini sulit terjadi mengingat yang sekarang saja bukan hanya tenaga ahli yang didatangkan, tapi sampai buruh-buruh kasarnya. Selain itu bagaimana proteksi terhadap kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, perlindungan pekerja lokal dan nasib pribumi dengan datangnya investasi mereka?," tutup Desmond.

Rekomendasi